“Partai adalah pengorganisasian ide dan perbuatan untuk menciptakan kenegarawanan”Donny Gahral
Joko Widodo, Ridwan Kamil, dan Tri Rismahani merupakan ikon fenomenal dari sebuah proses personalisasi politik di Indonesia. Hermawan Kertajaya, seorang pakar marketing, menyatakan bahwa pergeseran politik dari ideologi kepada personalisasi merupakan bagian integral dari tata dunia baru yang terwujud hari ini. Masyarakat demokratis yang cerdas tidak lagi menjadikan ideologi dan background sebagai pertimbangan utama dalam memilih, mereka cenderung melihat citra, terlepas apakah itu memang sejatinya sang tokoh atau hanya citra semu akibat ulah media belaka.
Ada satu nilai manfaat yang kita rasakan dari personalisasi politik. Munculnya figur Joko Widodo, Ridwan Kamil, atau Risma dalam Pilkada hari ini cukup menaikkan gairah pemuda dan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Tokoh-tokoh di atas menjawab keraguan bahwa sebenarnya pemuda dan mahasiswa tidak lagi apolitis.
Namun, penulis masih melihat fenomena ini sebagai politik semu. Kita hanya memilih sebagian konsekuensi dari demokrasi sementara menolak yang lain. Meskipun banyak pemuda dan mahasiswa berperan aktif dalam Pilkada dan mengaku tidak lagi apolitis, mayoritas tetap antipati terhadap satu entitas bernama partai politik. Padahal, sama halnya dengan pemilu, partai politik adalah konsekuensi dari demokrasi.
Penulis melihat, setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat jarak kita dengan partai politik begitu jauh.
Pertama, mahasiswa hari ini cenderung teknokratis alih-alih politis. Tidak bisa dibilang apatis tetapi cenderung hanya berpegang kepada kebenaran ilmiah dan objektivitas semu. Kita ragu untuk menunjukkan keberpihakan pemikiran kita kepada kubu tertentu. Atas nama netralitas kita mengambil jarak dengan pemihakan, salah satunya dengan sikap partai politik.
Kedua, mahasiswa terlalu jenuh dengan dinamika politik yang terjadi dalam perebutan kekuasaan organisasi kampus. Beragam kepentingan tejadi antara organisasi ekstra kampus yang seolah ‘disusupi’ kepentingan partai politik. Sebenarnya mahasiswa tidak terlalu keberatan apapun latar belakang pemimpin organisasi kampus jika mereka mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam menuntaskan seluruh problematika kemahasiswaan. Sama halnya dengan Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, atau Joko Widodo, yang sebagian masyarakat tidak peduli siapa, partai apa, atau ideologi apa yang ada di belakang mereka.
Namun, sayangnya inkapabilitas kepemimpinan seorang pemimpin kampus, atau gerakan yang terlalu fokus hanya kepada satu isu (hanya kepada gerakan politik misalnya), membuat mahasiswa jenuh dengan kemahasiswaan dan ‘terpaksa’ melihat latar belakang para pemimpinnya. Publik jadi terlalu takut dengan dan menaruh curiga kepada partai politik atau organisasi apapun yang berasal dari luar kampus karena mengaitkan dengan konflik yang terjadi di organisasi kemahasiswaan.
Terakhir, faktor partai politik sendiri lah yang membuat mahasiswa, pemuda, dan umumnya masyarakat, tidak lagi percaya kepadanya. Juli 2013 lalu Lembaga Survei Nasional (LSN) merilis sebuah survei mengenai tingkat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti partai politik, ormas, LSM, media massa, mahasiswa, sampai lembaga survei. Dari kesemuanya, partai politik lah yang mendapat kepercayaan paling rendah. Sebanyak 53,9 persen sampel mengaku kurang percaya kepada parpol.
Komplikasi problematika di atas membuat jarak yang terbentang antara kita dan partai politik semakin lebar, lebih jauh lagi bahkan antara mahasiswa dengan politik itu sendiri. Kita akhirnya memilih untuk terus menjaga jarak, memutuskan untuk Golput dalam pemilu, dan mengatakan “Semua partai sama saja”.