Bolehlah kita menggunakannya untuk bermain-main sebentar, tak perlu yang serius kali. Berdasarkan otak-atik tingkat pengaruh dan kepentingan, kelompok ketiga tersebar di beberapa kuadran di mana masing-masing memiliki kekuatan pengaruh maupun kepentingan yang berbeda-beda.
Pada kuadran Pengaruh Rendah-Kepentingan Tinggi terdapat pemilih pemula yang baru akan menggunakan haknya pada pemilu 2019, faktor informasi yang tepat, non-HOAX dan keberhasilan program akan menjadi referensi utama penentuan pilihan. Penggunaan social media positif merupakan salah satu alat yang harus dioptimalkan untuk menjangkau dan merebut pilihan mereka.
Pada Kuadran Pengaruh Tinggi-Kepentingan Rendah terdapat pihak yang akan terdampak langsung dari kebijakan dan memberikan dampak langsung juga pada pilihannya namun tingkat kepentingannya pada kekuasaan rendah, pada kelompok ini kaum minoritas akan swinging dalam menentukan pilihan, apakah akan setengah hati atau sepenuh hati pada pilihannya.Â
Tergantung sebesar apa nilai politis kaum minoritas bagi kontestan dan seyakin apa kaum minotitas untuk menggantungkan harapannya. Pada Kuadran Pengaruh Tinggi-Kepentingan Tinggi adalah tempat dimana pihak kunci dalam kemenangan elektoral berada, termasuk di sini adalah para tokoh atau lembaga-lembaga non pemerintah dan akademisi yang senantiasa kritis pada penguasa namun tidak berada secara struktural di pemerintahan.Â
Pengetahuan, jaringan dan tingkat pengaruh mereka adalah kapital besar yang mesti dikelola dengan baik. Merekrut kaum ini ke dalam lingkaran kuasa secara personal tidak menjamin adanya perubahan signifikan bagi kebijakan dan tidak serta merta mengamankan preferensi politik mereka yang biasanya rasional, kalkulatif, kritis dan sering terdengar sumbang di telinga penguasa.
Sebagai penutup, lubang-lubang di jalan yang Jokowi (dan rezimnya) jalani masih banyak, masih ada waktu untuk menutup lubang-lubang tersebut guna memenuhi ekspektasi tiap pihak. Pun demikian bagi oposisi, sejauh apa bisa memanfaatkan lubang tersebut dengan alternatif pemikiran dan elaborasi argumentasi yang memadai untuk menawarkan jalan lain.Â
Tentunya bukan sekedar menggunakanya sebagai kampanye hitam karena hal itu tidak akan memberikan kontribusi positif bagi demokrasi, bahkan kontra-produktif. Tentu memilih seorang anti-demokrasi sebagai pemimpin adalah kesalahan kolektif fatal suatu bangsa. Indonesia tidak perlu mencontoh praktik demokrasi yang tercederai di negara lain karena sudah jelas terlihat bagaimana dampaknya. (ll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H