Penetapan target 9 juta hektar pun juga tidak menunjukkan implementasi RA sejati karena hanya memanfaatkan hutan negara dan bukan lahan-lahan surplus atau lahan-lahan absentee (tanah dimana pemiliknya tidak berada di tanah tersebut) yang tersebar baik di dataran tinggi sampai pulau kecil seperti di Pari.
Maka untuk menemukan suatu solusi atas persoalan konflik agraria yang akut, terdapat beberapa saran: Pertama, adanya kemauan politik yang serius untuk memformulasikan Reforma Agraria sejati melibatkan dunia akademis, masyarakat sipil, organisasi petani dan organisasi nelayan; Kedua, moratorium pemberian hak atas tanah maupun perairan di wilayah-wilayah yang masih mengalami konflik agraria untuk dilakukan registrasi dan eksaminasi atas hak-hak yang sudah ada.
Ketiga, memasukkan tanah-tanah yang masuk kategori tanah objek agraria dalam program RA nasional yaitu tanah kelebihan batas maksimum, tanah absentee/guntai, tanah eks-swapraja, dan tanah yang langsung dikuasai negara (sesuai PP 224 Tahun 1961).
serta: Keempat, reformasi peradilan dan pembersihan peradilan dari elite capture. Tanpa mengatasi persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan reformasi hukum maka ketidakadilan akan tetap ada. (ll)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI