Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Kekalahan Petani dan Nelayan, Sebuah Refleksi Tahun 2017

23 Desember 2017   01:51 Diperbarui: 23 Desember 2017   01:56 4718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengingkaran konstitusi (UUD 1945 dan UUPA 1960)

Bila ditilik dari kasus-kasus di mana petani dan nelayan kalah di pengadilan, kekalahan mereka ditentukan oleh pilihan penggunaan aturan yang bersifat sangat spesifik dan sektoral baik soal aturan kawasan, property pribadi, soal retribusi, dan pasal-pasal lain yang dicuplik sana-sini sehingga pas untuk menyeret petani dan nelayan ke sel dingin tahanan. 

Regulasi digunakan untuk menghukum yang lemah dan bukan untuk menemukan substansi persoalan yang panjang dan melibatkan banyak perspektif di luar hukum baik aspek sejarah, budaya, sosiologis, politik masa lalu bahkan psikologi massa di masa lalu. Pasal-pasal algojo ini bersifat ahistoris karena hanya meletakkan argumennya pada bukti yang tersedia atau bisa diamati dengan indera manusia dan tinggal menemukan kecocokannya dengan isi pasal. Pendekatan positivistik dan legal formal ini sengaja membutakan diri pada informasi-informasi dari disiplin lain. 

Dengan justifikasi "bebas nilai" hukum dibuat buta, sumber hukum bukanlah moral melainkan pasal. Saat Belanda menerapkan hukum kolonial atas wilayah nusantara yang belum memiliki sistem hukum yang integral, Belanda juga melakukan praktik hukum atas justifikasi ini. Apakah itu adil bagi orang Indonesia, tentu tidak. Namun hukum adalah produk politik, dan penguasa adalah penentu setiap tindakan politik, dan tentu saja legal. Legal iya, adil tidak. Legal iya, legitimate tidak. 

Rasanya janggal jika Republik Indonesia masih menghantamkan argumen hukum legalis positivistik terhadap kaum tani dan nelayan yang jelas sudah ada sebelum negara ini terbentuk dan hukum dirumuskan. Menetapkan hukuman dengan instrumen legal formal ke pihak yang selama ini tidak difasilitasi hak konstitusinya secara penuh tak ada bedanya dengan tindakan Belanda menghukum warga nusantara dengan hukum Belanda.

Bila menilik ke belakang, kita beruntung bahwa pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang alpa pada hak konstitusi warganya, justru hal tersebut menjadi rationale terbesar untuk merdeka. Motif terkuat dari kemerdekaan adalah membebaskan warganya dari kekuasan dan hukum kolonial melalui pembaharuan hukum dan kekuasaan ekonomi dan politik demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. 

Dari sanalah pernyataan suci pembukaan UUD 1945 dirumuskan dan di pasal 33 dinyatakan dengan tegas bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Rumusan ini harus dibaca utuh bahwa seluruh sumber agraria di wilayah RI (tak terkecuali, yang merupakan hadiah dari alam) dikuasai (tapi tidak dimiliki oleh negara) dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. 

Maka apabila negara memberi konsesi melalui rejim ijin dan tidak mendengarkan kepentingan rakyat yang terampas penghidupannya maka negara sudah melakukan pengingkaran karena pada prinsipnya negara tidak bisa memberikan ijin konsesi dengan menyingkirkan warga karena negara bukan pemilik tanah sesuai prinsip Hak Menguasai Negara dalam UU Pokok Agraria 1960. 

Hak Menguasai Negara (HMN) bukanlah kepemilikan seperti didefinisikan oleh hukum perdata melainkan kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Artinya rakyat yang memberi mandat kepada negara untuk mengelola sumber daya agraria demi kemakmuran rakyat itu sendiri dan HMN ini tidak dapat dikurangi atau ditiadakan oleh pemberian hak atas tanah (Gunawan 2017)

Undang-undang Pokok Agraria 1960 memiliki semangat yang sama dengan apa yang diucapkan Hatta sebelum Indonesia merdeka bahwa "Pada dasarnya, tiap-tiap penduduk dibolehkan mempunyai milik tanah di kota untuk tempat kediamannya atau tempat usahanya, tetapi mempunyai tanah sebagai obyek perniagaan tidak dibolehkan" Bagi Hatta, sumber kemelaratan rakyat selama ini adalah penguasaan tanah yang terlalu besar oleh sedikit orang, oleh karena itu praktik seperti pada jaman feodal tak bisa diulangi. 

Tanah adalah milik masyarakat -dan bukan komoditas- yang dikuasakan oleh negara untuk mengurusnya, maka pemanfaatan termasuk oleh perusahaan swasta harus seijin masyarakat (Luthfi 2011). UUPA 1960 diterbitkan dengan semangat untuk menghapus ketimpangan penguasaan tanah oleh partikelir Belanda dan tuan-tuan tanah ciptaan sistem agraria kolonial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun