Istilah negara centeng ini meminjam istilah dari I Wibowo dalam bukunya Negara Centeng: Negara dan Saudagar di era Globalisasi terbitan Kanisius Tahun 2010 yang melihat secara kritis peran negara dalam pusaran raksasa bernama globalisasi dan bagaimana telikung kapitalisme global mampu mereposisi negara dari peran sebagai pelindung rakyat menjadi anjing penjaga korporasi yang tangguh.Â
Menggunakan perspektif ekologi politik, peran negara pun berubah dari penjaga lingkungan menjadi monster perusak lingkungan yang masif (Bryant dan Baileys 1997) yang dapat dilihat dari proyek-proyek besar yang mengubah lanskap ekologis suatu wilayah dengan justifikasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi seperti MP3EI (Masterplan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia), MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dan yang sedang dipromosikan secara gencar yakni KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) yang justru mengancam ruang hidup masyarakat lokal dan ekosistemnya.Â
Dalam bukunya Wibowo menyatakan bahwa neoliberalisme adalah driver utama pelucutan peran suci negara sehingga tujuan negara bukan lagi mensejahterakan rakyat yang notabene pembentuk negara secara voluntaristik ala Rosseau (Carniero 1970), bukan pula sebagai Leviathan yang mengatasi antagonisme antar kepentingan ala Hobbes  melainkan sebagai hasil dari kemenangan suatu kelas tertentu atas kelas lain melalui pertentangan tanpa henti (Lenin 1974)Â
Pada masakini di mana kapitalis adalah kelas dominan maka negara ini adalah negara borjuasi penggelar karpet merah bagi modal, investasi dan kapitalisme global. Negara bukanlah entitas otonom dan mandiri melainkan subordinasi pemilik kapital dengan tiga tugas utama: penyedia infrastruktur, memastikan hukum ditegakkan sesuai aturan positif, dan memastikan keamanan atau bahasa lainnya membuat situasi kondusif bagi investasi (Apiano 2015)
Kapitalis nasional
Namun yang kemudian harus dicermati bahwa ekspansi kapitalisme ini tidak hanya terjadi pada sirkuit global yang melibatkan neoliberalisme sejak Thatcher dan Reagan di tahun 80an. Tak hanya Bank Dunia atau International Monetary Fund (IMF) sebagai driver utama neoliberal melalui structural adjustment-nya melainkan sudah ada prakondisi yang memungkinkan proses neoliberalisme itu datang. Â Feodalisme pada masa pra-kemerdekaan dan kapitalis nasional yang telah berkembang seiring pertumbuhan Orde Baru pun memainkan peran yang tak kecil untuk mengubah negara menjadi entitas imperialis berkat kekuatan negara untuk memonopoli hukum dan penggunaan kekerasan (Robison 2009)
Wibowo menempatkan lima kata kunci neoliberalisme sehubungan dengan tugas negara centeng yakni memastikan pasar bebas, perdagangan bebas, pajak rendah, deregulasi dan privatisasi. Sementara itu  Harvey dalam bukunya New Imperialism (2003) menempatkan tujuh tindakan negara yang identik dengan konsep Marx mengenai akumulasi primitif sebagai prakondisi terbentuknya kapitalisme yakni: a) privatisasi dan komodifikasi sumber-sumber agraria serta pengusiran paksa kaum tani dari tanahnya; b) Konversi sistem property right dari kepemilikan komunal maupun negara menjadi kepemilikan pribadi yang bersifat eksklusif; c) Penindasan atas hak-hak masyarakat kebanyakan; d) Komodifikasi tenaga kerja dan peminggiran bentuk-bentuk produksi dan konsumsi alternatif (non-kapitalis); e) Proses pengambilalihan aset dan sumber daya yang mirip proses masa kolonial yakni perampasan dengan justifikasi hukum; f) Monetisasi nilai tukar dan pajak, khususnya pada tanah (sewa tanah); serta g) Pemanfaatan tenaga kerja yang berkarakter perbudakan, penetapan utang nasional dan penggunaan sistem kredit sebagai alat radikal dari akumulasi primitif. Akumulasi primitif sendiri menurut Marx adalah prasyarat tumbuhnya kapitalisme dimana alat-alat produksi subsisten dilucuti dari petani atau produsen, termasuk nelayan demi terciptanya cadangan tenaga kerja murah dan mengubah aset yang hanya memiliki nilai  guna menjadi memiliki nilai tukar.
Formasi negara yang tidak solid
Kondisi di atas diperburuk dengan kondisi negara sendiri yang tidak solid, polarisasi dan fragmentasi di dalam tubuh negara di Indonesia sangatlah tinggi dan tidak menjadi suatu unity (Vu 2007). Sebagai perbandingan, bila di masa Orde Baru pilar kekuatan negara adalah otoritarianisme birokratis di mana korupsi birokrasi bersifat sentral dan unit-unit negara di tingkat lokal adalah otoritarian pinggiran, pada saat ini justru di tingkat lokal lah otoritarianisme ini menonjol. Dengan kuasa desentralisasi, para kepala daerah dan birokrasi daerah dapat memainkan kebijakan-kebijakan yang pro pengerukan sumber daya seperti pertambangan ataupun pertanahan untuk property. Formasi negara yang belum solid pasca transisi dari sentralisasi ke desentralisasi menyisakan celah terjadinya ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab atas suatu domain kebijakan. Apakah ada di pusat, provinsi atau kabupaten/kota masing-masing memiliki justifikasi regulasi yang kadang kala bekontestasi satu sama lain. Belum lagi antar sektor di level pemerintahan yang sama kadang berbenturan masalah jurisdiksi. Celah-celah ketidakteraturan ini membuka peluang bagi praktik negara yang lain yakni business-interest led state formation dimana aktor-aktor dalam lembaga negara tersebut disatukan oleh motif keuntungan pribadi dari keberadaan suatu bisnis namun aktor tersebut memiliki kuasa dan akses untuk menggunakan kewenangan dan jaringan kuasanya di birokrasi yang lain untuk sama-sama mengambil keuntungan dari pihak yang memiliiki kapital besar. Maka tak jarang semisal hakim atau jaksa bekerjasama dengan kepala dinas A dan anggpta dewan B terlibat dalam kasus yang sama melibatkan kepentingan korporasi C. Korupsi terjadi melintasi tugas antar lembaga di dalam negara.
Lingkaran kongkalikong ini bisa dikatakan sangat solid dan sulit dikalahkan oleh gerakan rakyat sipil atau gerakan perlawanan petani atau nelayan lokal karena basis keputusan yang muncul selalu bersifat legal formal sementara petani dan nelayan di Indonesia tidak semua mengetahui atau memiliki justifikasi legal formal. Keputusan legal formal ini lahir dari negosiasi di ruang-ruang gelap antar elit pejabat birokrasi, parlemen, penegak hukum dan biasanya melibatkan swasta sebagai simpul aktor penyedia dananya. Oleh karena itu bisa dimengerti ketika cara untuk mengafirmasi kriminalitas ini adalah dengan operasi tangkap tangan seperti yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun tentunya tak semua jenis kongkalikong ini dapat dilakukan tangkap tangan. Ada banyak bentuk penyelundupan hukum oleh aparat maupun non-aparat yang pada intinya menciptakan sebuah praktik kriminal yang legal. Proses pengungkapannya membutuhkan waktu yang panjang dan berbelit-belit. Kriminalitas bergaya mafia ini tidak mudah dipecahkan terlebih ketika unit-unit negara satu justru tidak berpihak pada unit negara yang lain, contoh kongkritnya adalah konfik antara DPR, Polisi, dan KPK.
Mengembalikan negara untuk kesejahteraan
Dari paparan di atas, justru titik kritis saat ini terjadi pada tingkat lokal dimana ekspansi kapitalis lokal atau nasional mampu memobilisir unit-unit negara menjadi centengnya, bahkan jauh ke wilayah perdesaan yang insular sekalipun. Kasus perebutan lahan antara warga Pulau Pari  dengan korporasi dapat dijadikan contoh bagaimana ekspansi kapital nasional efektif menggunakan unit negara dari birokrasi tingkat kelurahan sampai kabupaten bahkan sampai pengadilan untuk berada di barisan korporasi guna mendukung klaim kepemilikan tanah di pulau kecil Pari dengan hanya melandaskan argumennya pada kepemilikan Surat Hak Milik. Dengan justifikasi sesederhana itu, perlawanan warga dipatahkan lewat pengadilan dan aparat sementara Kantor Pertanahan dan kecamatan serta kelurahan mengamini bahwa proses SHM tersebut sah dan legal. Tak ada argumentasi yang kaya yang menempatkan negara dalam posisi melindungi warganya yang merasa terancam akibat hilangnya status penguasaan tanahnya, dari yang menguasai dan memanfaatkan tanah tiba-tiba menjadi landless people, manusia tanpa tanah. Tak ada penjelasan yang diterima tentang fakta kesejarahan di masa lalu di mana terjadi praktik penipuan, keterisolasian, ataupun krisis-krisis di masa lalu yang menyebabkan sumber agraria warga terancam pada hari ini. Negara baik kelurahan, kecamatan maupun kabupaten tidak mencoba menemukan informasi alternatif atas perebutan lahan agar masyarakat dapat terlindungi dan tidak kehilangan mata pencahariaan. Bukannya melindungi dan mencari solusi bagi rakyat, unit negara tersebut justru menyatakan warga tak punya alas hak dan harus patuh pada kepentingan perusahaan, masih ditambah dengan embel-embel "atas nama hukum". Sungguh suatu pertunjukkan yang menunjukkan betapa merosotnya peran negara. Dari sebuah tugas suci pembawa kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat (welfare state) seperti termaktub dalam UUD 1945 menjadi kerdil hanya menjadi centeng pemilik modal yang "diupah" dengan uang hasil darah dan keringat rakyatnya.
Tak ada solusi atas kondisi ini selain terus menumbuhkan gerakan-gerakan perlawanan politik di kalangan warga sipil, aktivis terdidik atau pers agar ketidakadilan selalu dipertontonkan di depan negara secara luas untuk meng-counter bentuk praktik business-interest led state formation ini. Selain itu masih terbuka peluang adanya aktor-aktor lain di dalam birokrasi yang masih melakukan tugas sesuai mandatnya karena pada dasarnya birokrasi tidak benar-benar monolith atau berdasarkan kesetiaan tunggal. Agen dapat bergerak sendiri di antara struktur-struktur dimana ia melekatkan tugas dan jabatannya. Â Kombinasi antara mobilisasi sumber daya akar rumput dan kelas terdidik berbarengan dengan perjuangan-perjuangan menggali kesempatan-kesempatan politik akan menambah amunisi suatu perjuangan kelas melawan borjuasi kapitalistik ala mafia yang kotor dan brutal ini. (ll/2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H