Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Centeng, Berjamaah Membela Korporasi

22 November 2017   22:40 Diperbarui: 22 November 2017   22:51 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi warga Pulau Pari menuntut pembebasan tiga nelayan Pari di PN Jakarta Utara (sumber: Forum Peduli Pulau Pari, 2017)

Dari paparan di atas, justru titik kritis saat ini terjadi pada tingkat lokal dimana ekspansi kapitalis lokal atau nasional mampu memobilisir unit-unit negara menjadi centengnya, bahkan jauh ke wilayah perdesaan yang insular sekalipun. Kasus perebutan lahan antara warga Pulau Pari  dengan korporasi dapat dijadikan contoh bagaimana ekspansi kapital nasional efektif menggunakan unit negara dari birokrasi tingkat kelurahan sampai kabupaten bahkan sampai pengadilan untuk berada di barisan korporasi guna mendukung klaim kepemilikan tanah di pulau kecil Pari dengan hanya melandaskan argumennya pada kepemilikan Surat Hak Milik. Dengan justifikasi sesederhana itu, perlawanan warga dipatahkan lewat pengadilan dan aparat sementara Kantor Pertanahan dan kecamatan serta kelurahan mengamini bahwa proses SHM tersebut sah dan legal. Tak ada argumentasi yang kaya yang menempatkan negara dalam posisi melindungi warganya yang merasa terancam akibat hilangnya status penguasaan tanahnya, dari yang menguasai dan memanfaatkan tanah tiba-tiba menjadi landless people, manusia tanpa tanah. Tak ada penjelasan yang diterima tentang fakta kesejarahan di masa lalu di mana terjadi praktik penipuan, keterisolasian, ataupun krisis-krisis di masa lalu yang menyebabkan sumber agraria warga terancam pada hari ini. Negara baik kelurahan, kecamatan maupun kabupaten tidak mencoba menemukan informasi alternatif atas perebutan lahan agar masyarakat dapat terlindungi dan tidak kehilangan mata pencahariaan. Bukannya melindungi dan mencari solusi bagi rakyat, unit negara tersebut justru menyatakan warga tak punya alas hak dan harus patuh pada kepentingan perusahaan, masih ditambah dengan embel-embel "atas nama hukum". Sungguh suatu pertunjukkan yang menunjukkan betapa merosotnya peran negara. Dari sebuah tugas suci pembawa kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat (welfare state) seperti termaktub dalam UUD 1945 menjadi kerdil hanya menjadi centeng pemilik modal yang "diupah" dengan uang hasil darah dan keringat rakyatnya.

Tak ada solusi atas kondisi ini selain terus menumbuhkan gerakan-gerakan perlawanan politik di kalangan warga sipil, aktivis terdidik atau pers agar ketidakadilan selalu dipertontonkan di depan negara secara luas untuk meng-counter bentuk praktik business-interest led state formation ini. Selain itu masih terbuka peluang adanya aktor-aktor lain di dalam birokrasi yang masih melakukan tugas sesuai mandatnya karena pada dasarnya birokrasi tidak benar-benar monolith atau berdasarkan kesetiaan tunggal. Agen dapat bergerak sendiri di antara struktur-struktur dimana ia melekatkan tugas dan jabatannya.  Kombinasi antara mobilisasi sumber daya akar rumput dan kelas terdidik berbarengan dengan perjuangan-perjuangan menggali kesempatan-kesempatan politik akan menambah amunisi suatu perjuangan kelas melawan borjuasi kapitalistik ala mafia yang kotor dan brutal ini. (ll/2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun