Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencintai Laut (Tapi Tidak Nelayannya)

16 Agustus 2016   11:11 Diperbarui: 16 Agustus 2016   11:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nelayan Pulau Pari berhadapan dengan pulau yang telah diprivatisasi

Jika ditanyakan pada setiap orang di Indonesia, apakah mereka menyukai dan mencintai laut? Kebanyakan mungkin akan mengatakan “iya”. Alasannya akan beragam, bisa jadi karena keindahan sunset-nya, kenikmatan ikan dan cumi bakarnya, romantisnya suara debur ombak atau lembutnya desau angin yang membelai wajah. 

Namun orang itu akan berpikir agak lama ketika pertanyaannya ditambahkan: “apakah juga mencintai nelayannya?” Kerutan di wajah kala berpikir akan muncul atau “ehmmm” panjang mungkin akan terdengar sebelum jawaban keluar dari mulutnya: “yaa kalau saja kampung nelayan itu bersih”, “kalau saja nelayan itu tidak kasar”, “kalau nelayannya tidak merusak laut”, atau bahkan menyatakan “iya jika nelayan mau mengikuti aturan hukum yang ada sehingga pantai tidak kotor”. 

Ketika pertanyaan ketiga disampaikan: apakah mau tinggal bersama nelayan di kampung nelayan untuk beberapa hari? Respon yang didapat rasanya akan muncul lebih panjang “ehmmmm” dan lebih banyak “jika saja” atau bahkan menjawab “tidak”.

Laut tentu tak bisa dipisahkan dengan pesisirnya karena di pesisirlah setiap perahu bersandar dan berangkat, di pesisirlah nelayan tinggal bersama keluarganya, di pesisirlah perjuangan nelayan berlanjut ketika harus berhadapan dengan jaringan sosial politik dan ekonomi yang lebih luas. 

Lautan adalah wilayah pribadi setiap nelayan yang mungkin hanya bisa dipahami oleh nelayan dan keluarganya. Lautan adalah kawan sekaligus arena, pertaruhan hidup mati yang dijalani setiap hari, bertarung sekaligus memasrahkan diri pada kekuatan samudera. 

Singkatnya, setiap perjalanan nelayan sejatinya adalah perjalanan suci, pertarungan yang harus mereka menangkan agar setiap anggota keluarga dapat makan dan melanjutkan hidup. 

Namun diakui, seberapa dari kita yang menganggap perjalanan suci itu sepadan sehingga menghargainya tinggi. Ketika di pesisir dan perahu mendarat, nelayan akan dihargai berdasarkan tangkapannya bukan perjalanannya, bahkan dengan teganya kita menawar atas pertaruhan hidup matinya di laut. Betapa teganya kita?

Tentu  pernyataan bahwa “setiap pekerjaan adalah pertarungan” adalah benar namun apakah setiap pekerjaan yang bertaruh nyawa akan disamakan dengan pekerjaan yang minim risiko? Bila ditarik pada dimensi lebih luas, kenapa pekerjaan yang risikonya sebesar ini hanya menghasilkan sederetan kampung miskin di negeri ini, negeri dari suatu bangsa yang mengagungkan laut dan pelaut dalam kisah kepahlawanannya namun sampai hati meninggalkan nelayan dalam kemiskinan. 

Tentu setiap orang yang berada dalam periode 71 tahun kemerdekaan ini ikut bertanggung jawab. Pertanyaan bagi tiap orang kemudian adalah: apa sumbangan yang telah kita sumbangkan untuk memarjinalkan nelayan kita sendiri?

Mungkin pasca-kemerdekaan, baru saat Joko Widodo menjabat sebagai presiden, isu laut dan pesisir mendapat perhatian serius (meski di masa Gus Dur sudah dimulai tapi sayang minim aplikasinya secara instrumentatif) namun terdapat satu isu lama yang belum selesai yakni  kemiskinan. Bisa dilihat di sepanjang pesisir di mana kampung nelayan berdiri, kebanyakan dalam kategori miskin atau hampir miskin di mana pendulum nasib mereka bisa berubah dengan cepat. 

Kondisi nelayan tersebut dianalogikan Scott (1994) dengan “bagai orang yang terendam di air laut sebatas leher, sehingga bila ada sedikit gelombang saja, hal itu bisa menenggelamkannya”. Persoalan kemiskinan dan kesejahteraan ini menurut Satria (2009) berhubungan dengan dua hal yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses pada pengelolaan sumber daya. Ironisnya, justru di sanalah kita sebagai sebuah bangsa melupakannya selama berpuluh-puluh tahun dan lupa mengingatkan negara yang kita bentuk ini.

Setidaknya ada dua lokus penelantaran pesisir dan penyingkiran nelayan selama ini yakni di pesisir daratan utama dan pesisir pulau kecil dimana bentuk yang paling tampak adalah absennya negara sebagai pihak yang seharusnya mengusai seluruh wilayah dan tak berpihaknya negara pada nelayan kala berhadapan dengan kepentingan kapital. 

Di pesisir daratan utama, negara tak tampak kritis terhadap investasi asing yang membangun PLTU/D dan pelabuhan batubaranya: Sukabumi, Cilacap, Pacitan, dan terakhir di Batang menghadap-hadapkan nelayan/masyarakat pesisir secara diametral dengan korporasi sementara negara sebagai pemilik arena hanya ambil untung. 

Sementara itu di pulau-pulau kecil, ketiadaan negara tampak lebih nyata, ikan dan mangrove menghilang sementara tanah bergulir dari satu pemilik ke pemilik lain tanpa administrasi yang benar, Badan Pertanahan Nasional sebagai wakil negara pun justru disinyalir banyak melakukan maladministrasi (Risnarto 2013). 

Sebagai contoh, sejumlah 65 pulau di Pulau Seribu bisa diprivatisasi oleh perorangan dan korporasi begitu saja (IndonesianReview 2015) dan bahkan 16 pulau di Indonesia dimiliki asing (KIARA 2015). Semua terjadi di depan mata UUD 1945 pasal 33, UU Pokok Agraria no 5 tahun 1960 dan membuat UU 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tampak agung tapi letoy untuk mengatasi kekacauan yang telah mengurat ini

Pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun 2016, sejumlah tantangan merentang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seiring jenuhnya kawasan di daratan utama dan juga makin berkembangnya industri wisata sebagai industri di masa depan. Pesisir dan pulau kecil akan menjadi sasaran berikutnya dari rakusnya kapital (terimakasih pada MP3EI yang telah membantunya!). Setidaknya ada tiga permasalahan mendasar yang membutuhkan perhatian serius di pesisir dan pulau kecil yakni:

  • Pilihan kebijakan pembangunan. Sudah terbukti di darat bahwa pilihan kebijakan yang berorientasi modal asing yang padat kapital, teknokratik dan bersifat eksklusif tak menghasilkan praktik pembangunan yang berkelanjutan. Justru implikasi sosio-ekologis yang muncul tinggi akibat tersingkirnya masyarakat petani dengan segala budaya dan teknologinya ke sektor industri atau menjadi proletariat desa, hal yang sama akan terjadi dengan nelayan pesisir dan pulau kecil, apa yang dinamakan depeasantization akan merebak menjadikan persoalan yang lebih panjang secara sosial. 

  • Namun tampaknya masih sulit bagi Indonesia untuk keluar dari mitos modal asing dan investasi kapital ini karena bahkan kepentingan ekologispun tak lepas dari kepentingan kapital yang diistilahkan dengan greening capitalism yang sejatinya bukan berpihak pada keadilan ekologis dan keadilan sosial melainkan memberikan justifikasi bagi kapitalime itu sendiri, contoh nyatanya adalah masih maraknya pemakaian eco-bla bla bla atau bio-bla-bla di sektor-sektor yang nyatanya eksploitatif.

  • Konflik agraria pesisir akan terus berkepanjangan jika ketidaksinkronanan kebijakan masih ada dan masing-masing sektor tidak segera menyusun model koordinasi yang efektif dan integratif. Setidaknya berikut adalah beberapa Undang-Undang yang harus diharmoniskan dengan UU no 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebagai babon-nya semua ketentuan tentang obyek agraria yakni: UU no 5 tahun 1967 jo UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; UU no 11 tentang Pokok Pertambangan; UU no 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU no 1 tahun 1974 jo UU no 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air; UU No. 4 Tahun 1982 jo UU No.23 tahun 1997 jo UU No 32 tahun 2008 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH); UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;  UU No 24 tahun 1992 tentang Penatanan Ruang jo UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas); UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi); UU No.18/2004 tentang Budidaya Tanaman (UU Budidaya Tanaman); UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (UU PWP3K); UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara; UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman; dan UU no 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

  • Pengelolaan yang bersifat eksklusif dan meniadakan pihak lain khususnya pengambil manfaat tingkat lokal sejauh mungkin dihindari dan pemerintah khususnya pemerintah daerah bisa mengambil prakarsa untuk memfasilitasi semu aktor yang terlibat maupun terdampak dari pemanfaatan sumber daya agraria. 

  • Oleh karena itu pelibatan masyarakat sebagai local user dalam skema collaborative-management harus selalu dikedepankankan untuk menjaga sumber daya agrara tersebut baik tanah, air maupun udara. Relasi yang terbukti sustainable adalah ketika negara, masyarakat dan korporasi mau bekerja bersama, mengusahakan dan sekaligus menjaga sumber daya “sakral” ini dalam siklus memanfaatkan dan memulihkan untuk mewujudkan keadilan ekologis yang harmonis.

Maka pada momen peringatan 71 tahun merdekanya Indonesia dari jajahan Belanda ini, sekali lagi harapan dan doa dipanjatkan agar ia terbang dan terpilin dalam ruang-ruang imajiner bangsa Indonesia bahwa jika hendak mencintai negeri ini, bukan bendera yang harus disembah melainkan bacalah sejarah. 

Mencintai Indonesia adalah mencintai lautnya, dan bila laut saja dicintai maka kita layak berterimakasih pada nelayan yang telah menyulam jembatan-jembatan antar pulau tersebut dengan keringat dan doa mereka sehingga sampai hari ini kita masih bisa mengibarkan bendera bangsa Indonesia tinggi-tinggi. Dirgahayu. (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun