Rasanya praktik pembelaan diri serta menutup diri terhadap kritik dan masukan masyarakat ini bukan bahan kampanye yang bagus untuk Polri untuk mewujudkan Grand Strategy Polri 2005-2025. Grand strategy ini telah dua periode berlalu: 2005-2010 untuk trust building, 2010-2015 untuk kemitraan yang kuat, dan 2016-2025 menuju pelayanan yang efektif dan efisien. Kenyataannya, untuk mendapat simpati baik dan trust dari masyarakat pun Polri belum mampu (Kompas, 4 Mei 2015). Bukan saatnya lagi polisi bertindak otoriter dalam menginterpretasikan perundangan tanpa mengindahkan peran atau masukan masyarakat. Polisi semakin dituntut untuk profesional namun di sisi lain juga membuka diri terhadap partisipasi masyarakat agar kemitraan dengan masyarakat dapat diwujudkan. Bukankah ini merupakan cita-cita Polri?
Mengatasi perilaku agresi
Lalu bagaimana cara mengurangi munculknya agresi yang dilakukan massa ini, dalam hal ini termasuk semua jenis konvoi jalanan baik moge, mobil, sepeda motor, atau sepeda sekalipun? Kita tidak bisa melarang orang berkumpul dan berinteraksi dalam komunitas, namun sebaiknya semua menjadi mitra bagi pihak keamanan agar bisa dipantau aktivitasnya. Dan bila melihat penjelasan pada variabel kepribadian otoritarian di atas, usaha untuk mengurangi tendensi agresi adalah penggunaan otoritas secara konsisten. Dalam hal ini penggunaan polisi adalah untuk menjaga konsistensi penegakan hukum untuk mengatur perilaku massa. Oleh karena itu pasal bahwa polisi berhak melakukan pengawalan konvoi memang masuk akal namun bukan dalam kerangka memberi previlese kepada sekelompok orang dan mengorbankan kepentingan umum. Justru target yang ditertibkan seharusnya massa konvoi, bukan masyarakat pengguna jalan lain. Polisi jelas punya wewenang dan kuasa untuk itu, tak ada yang bisa membantah.
Keberadaan penegak hukum adalah wakil otoritas, dan massa sangat menjunjung tinggi aturan dan menghormati figur pemegang otoritas, maka polisi dan pemegang otorita lain harus menjalankan aturan dengan tegas dan tanpa pandang bulu, jangan memberikan keistimewaan karena justru seolah akan “membenarkan” apapun tindakan mereka. Dengan model ini niscaya mereka akan mengikuti. Pelajaran dari insiden Jogja menunjukkan sebaliknya dimana polisi menjadi semata pembuka jalan dan memberikan teladan untuk mengabaikan aturan lalu lintas, yang tentu saja diikuti oleh massa yang mengikutinya.
Ke depan kita mengharapkan polisi dapat menjalankan tugasnya secara proporsional dan profesional. Kita sangat mengapresiasi ketika polisi bekerja keras mengatur kepadatan saat lebaran misalnya, demikian juga saat polisi mengawal demonstran agar tak ada ekses ke masyarakat umum. Hal yang sama juga kita harapkan pada tugas pengawalan kelompok konvoi jalanan karena kita tentu mengharapkan jalanan yang aman dan tertib untuk semua orang (ll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H