Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Mengapa Orang Baik Bisa Menjadi Agresif di Jalanan?

21 Agustus 2015   01:00 Diperbarui: 21 Agustus 2015   01:27 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu mengapa nama kelompok Harley Davidson begitu buruk? stigma yang umum adalah arogan dan ugal-ugalan, orang kaya sok kuasa, dan seenaknya di jalan (sumber dari berbagai media). Namanya juga stigma, jadi biasanya bersifat generalis. Tapi di sisi lain muncul pertanyaan, mengapa orang-orang baik ini menjadi agresif ketika di jalan atau saat dikritik oleh pesepeda dan warga masyarakat? Lalu kenapa pula polisi malah defensif dan keukeuh menyodorkan pasal untuk menjustifikasi langkahnya? Sebaiknya kita mencoba memahami perilaku massa secara lebih dalam, dan entitas massa ini tidak hanya klub HD melainkan massa apa pun itu.

 

Deindivuasi dalam massa dan kecenderungan agresi

Paling tidak ada dua variabel yang menurut saya mempengaruhi perilaku orang di jalan khususnya ketika berada di tengah massa. Yang pertama adalah adanya fenomena deindividuasi, sedangkan yang kedua adalah karakter pribadi otoritarian. Kedua variabel inilah yang membentuk sifat pribadi apabila berada dalam suatu kelompok massa.

Dari perspektif psikologi, deindividuasi berarti hilangnya kesadaran seseorang sebagai seorang individu dalam kelompok (Manstead & Hewstone, 1996). Maka tak heran apabila seorang yang mengalami deindividuasi ini lebih mengedepankan “kita” daripada “aku”, selebihnya ia akan mengikuti norma maupun perilaku kelompoknya. Konsekuensi dari “kita” yang dominan ini kemudian adalah fenomena anonim atau menghilangnya individu digantikan dengan identitas kelompok. Anonimitas mengarah pada berkurangnya tanggung jawab pribadi. Sama seperti saya saat ikut konvoi kampanye, saya berani karena banyak temannya, makanya peserta kampanye saat itu berani memukul orang yang tidak mengacungkan jarinya seperti mereka. Semakin besar sebuah kelompok massa, maka semakin kecil identitas diri. Akan lebih parah lagi apabila deindividuasi ini mengarah pada kriminalitas karena seseorang dalam kelompok besar tidak akan merasa bersalah ketika melakukan tindakan agresi karena dianggapnya sebagai sikap kelompok.

Variabel kedua adalah kontribusi “kepribadian otoritarian” yakni suatu bentuk kepribadian individu yang ditunjukkan dengan karakteristik kepatuhan yang berlebihan pada penguasa, tunduk pada otoritas, kaku pada perilaku konvensional dan mengambil sikap bermusuhan dengan orang yang berbeda atau minoritas (Altameyer dalam Taylor, Peplau dan Sears, 1994). Yang terjadi pada individu dengan karakter seperti ini adalah berusaha mencari figur penguasa karena ingin menikmati kekuasaan juga. Perilaku inilah yang akan menemukan muaranya dengan deindividuasi di atas menghasilkan pribadi anonim yang nyaman dalam kelompok, agresif terhadap kelompok lain yang dianggap lebih rendah, namun sangat taat pada perintah penguasa.
Kombinasi antara dua variabel ini yakni deinviduasi dan pribadi otoritarian akan menghasilkan manifestasi agresi. Hal inilah yang terkadang tanpa kita sadari terjadi pada kita saat tengah berada dalam suatu massa, saat identitas kita terlarut oleh identitas kelompok dan secara pribadi kita merasa nyaman dan terlindungi karena ada otoritas yang membela kita maka kita seolah mendapat kebebasan besar untuk menentukan siapa yang rendah dan siapa yang tinggi. Kelompok yang rendah layak disingkirkan karena hanya mengganggu kemapanan. Namun perasaan ini akan hilang ketika tidak berada di dalam kelompok, seseorang dapat berubah menjadi ayah yang sangat lembut pada anak-anaknya, pemuda yang sangat santun pada orang tua, atau seorang wanita yang sangat ramah dan simpatik pada semua temannya. Semua tergantung dari sejauh mana tingkat anonimitas serta seberapa otoritarian kah pribadinya.

Kembali ke jalan, suguhan hirarki kekerasan tampak jelas di sana, pejalan kaki disingkirkan motor bebek, motor bebek disingkirkan motor besar, motor disingkirkan mobil, mobil disingkirkan mobil sport, dan seterusnya. Saya berani taruhan bahwa konvoi kelompok paling “kuat” ini pun akan minggir ketika ada rombongan polisi atau tentara lewat meskipun mungkin hanya rombongan pengantar pengantin saja atau sepulang latihan, yang tentu saja tak ada urgensinya untuk mendapat prioritas. Hal ini dikarenakan pada konformitas mereka pada otoritas. Tentara dan polisi adalah pemegang otoritas, karena itu harus dihormati atau ditakuti.

 

Solusi atau Masalah

Di ujung tulisan ini, polisi akan menjadi muaranya. Kenapa begitu, karena polisi memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku yang potensial negatif di atas atau membiarkan potensi berbahaya itu?

Apa yang terjadi pada insiden Jogja justru menempatkan polisi menjadi bahan kritik karena reaksi polisi saat insiden justru abai dengan pelanggaran di depan matanya, saat mendapat kritik kemudian justru polisi defensif di balik pasal karet. Dalam hal ini justru yang dilakukan Ketua HDCI Jogja Gatot Kurniawan dan Komjen (Purn) Nanan Sukarna sebagai Ketua IMI dengan meminta maaf dan memberikan teguran pada anggotanya yang melanggar aturan adalah sangat simpatik. Kenapa polisi tidak melakukan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun