Tidak perlu diragukan lagi, sudah menjadi hal lumrah Indonesia disebut sebagai negara maritim karena eksistensinya sedari dahulu diuntungkan secara geografis.Â
Kekayaan maritim yang tersebar luas di pantai maupun di lautan Indonesia, baik kekayaan hayati maupun non-hayati menjadi alasan kuat untuk Indonesia menyandang gelar negara maritim.Â
Lebih rinci lagi, dunia bahkan menjuluki Indonesia dengan sebagai negara maritim nomor satu di dunia, dan negara kepulauan terbesar. Julukan-julukan itu bukan hanya sekedar omong kosong belaka sebab berdasarkan data geografi tercatat bahwa wilayah Indonesia dua pertiga dari total wilayahnya adalah laut yang jika dinominalkan menjadi 3.257.483 km2.Â
Sangat luas wilayah Indonesia hingga 99,7% perbatasannya dengan negara lain adalah laut. Tidak heran jika, sudah saatnya kita sebagai penduduk NKRI berdaulat atas maritim.
Natuna adalah satu kabupaten paling utara dari Provinsi Kepulauan Riau. Letak Natuna berada di jalur pelayaran internasional Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Vietnam, Malaysia dan Taiwan. Â
Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah laut Natuna memiliki potensi kekayaan laut yang kembali terancam oleh negara asing. Â Bahkan coast guard Tiongkok sudah berani unjuk gigi memasuki perairan Indonesia dengan alasan patroli dan lego jangkar.Â
Tiongkok mengklaim bahwa Laut Natuna Utara merupakan bagian dari wilayah lautnya sesuai dengan aturan nine dash line. Aturan mengenai nine dash line bertentangan dengan UNCLOS 1982 dimana Laut Natuna Utara merupakan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan kapal asing hanya diperbolehkan melintas di atasnya.
Kejadian saling klaim ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali, bahkan ada beberapa kejadian dimana illegal fishing marak dilakukan nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara.Â
Alih-alih menjauh, nelayan Tiongkok semakin berani mengusik kedaulatan nelayan Natuna dengan mempersenjatai diri dan menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang dilarang.Â
Dikutip dari salah satu pernyataan nelayan Natuna, mereka mengatakan bahwa terkadang terpaksa menyingkir dan menjauh apabila bertemu dengan kapal ikan Tiongkok.Â
Mereka takut karena para awaknya memiliki senjata dan kapal ikannya berteknologi lebih canggih. Di suatu waktu, mereka juga pernah dikejar oleh kapal nelayan Tiongkok tersebut.Â
Begitu miris melihat nasib nelayan sekaligus penduduk lokal disana, terbukti juga hingga saat ini alasan Indonesia belum mampu menjadi nomor satu sebagai pengekspor ikan mengalahkan Tiongkok disebabkan oleh salah satu faktor tersebut.
Jika ditelaah kembali secara hukum internasional batas wilayah laut Indonesia telah diatur sejauh 12 mil dari titik terluar pulau pada saat surut dengan payung hukum dalam deklarasi juanda pada 1957, UU No. 4 Tahun 1960 dan konvensi hukum laut internasional pada 1982.
Kedua batas laut landas kontinen Indonesia juga telah diatur yaitu laut dangkal dengan kedalaman kurang dari 200 meter ialah lanjutan dari kontinen Asia dan Australia yang berdasarkan UU No. 1 Tahun 1973.Â
Terkait hal ini, dilakukan perjanjian bilateral antara Indonesia, India, Thailand, Malayasia, Singapura, dan Australia. Terakhir, ada batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil ke arah laut terbuka dari laut teritorial yang diatur pada UU No. 5 Tahun 1983.Â
Di Zona ini Indonesia mempunyai hak untuk eksplorasi, pengolahan, dan pelestarian. Dari paparan hukum-hukum telah jelas bahwa Laut Natuna Utara miliki Indonesia, namun sepertinya hukum-hukum yang telah tertuang seolah tidak digubris oleh Pemerintah Tiongkok sama sekali sehingga aksi pencurian ikan terus terjadi.
Potensi kekayaan Laut Natuna Utara begitu banyak meliputi kekayaan biota laut sudah sewajarnya menggiurkan negara asing. Hasil tangkapan laut merupakan poin utama yang harus dilindungi pemerintah.Â
Diketahui Laut Natuna Utara mengandung berbagai jenis ikan seperti ikan kerapu yang ditaksir memiliki nilai ekspor ke Hong Kong sebanyak 6,72 ton seharga USD 100.314 atau Rp 1,45 Miliar pada September 2018. Sedangkan harga masing-masing untuk kerapu hybrid Rp 85.000 per kg, ikan kerapu tikus Rp 800.000 per kg, dan kerapu sunu senilai Rp 350.000 per kg.Â
Tidak hanya ikan kerapu, ada juga ikan napoleon yang kuota ekspornya telah ditetapkan pemerintah sebanyak 30 ribu ekor dengan ukuran lebih dari 1 kg hingga mencapai 3 kg per ekor.Â
Hasil tangkapan ini masih bisa ditingkatkan apabila didukung dengan pengelolaan, pemberdayaan, dan pelestarian berbasis teknologi yang dilakukan oleh nelayan Natuna didukung pemerintah.
Menyikapi kondisi Laut Natuna Utara yang semakin tidak aman dan mengancam kedaulatan NKRI terlebih letaknya berada di perbatasan maka Presiden Jokowi didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Plt. Gubernur Kepulauan Riau Isdianto, Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M. Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Slamet Soebjakto, serta pejabat terkait lainnya melakukan kunjungan ke Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna Pelabuhan Perikanan (PP) Selat Lampa.
Dalam kunjungannya kali ini presiden menyampaikan akan terus meningkatkan pembangunan infrastruktur, tidak hanya infrastruktur darat seperti jalan dan jembatan namun juga infrastruktur yang melayani aktivitasi kelautan seperti Pelabuhan umum, Pelabuhan perikanan, dan juga Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).Â
Diketahui biaya yang dihabiskan untuk membangun SKPT mencapai sekitar Rp 214,86 Miliar. Maksud pembangunan dilaksanakan untuk menyediakan sarana prasarana di Pelabuhan Perikanan Selat Lampa meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang.Â
Adapun fasilitas tersebut, yaitu lahan seluas 5,8 Ha, dermaga 8x120 meter untuk kapal 30 GT, ICS (Integrated Cold Storage) kapasitas 200 ton, instalasi air bersih kapasitas 250 ton, tempat pemasaran ikan, tempat perbaikan jaring, Gedung kantor administrasi, kios perbekalan, masjid/rumah ibadah, mess operator, dll.Â
Disamping itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menambahkan, untuk mengoptimalkan hasil laut yang ada, KKP bersama dengan nelayan Natuna akan mendorong 300-500 kapal ukuran 30 GT untuk dapat mengakses ZEE Natuna sehingga diharapkan wilayah Laut Natuna Utara akan ramai diisi oleh nelayan RI.
Sedangkan upaya lain yang dilakukan KKP adalah penyederhanaan regulasi dan birokrasi, pada tanggal 30 desember 2019 KKP meluncurkan SILAT (Sistem Informasi Izin Layanan Cepat).Â
Sistem ini dibangun bertujuan untuk mempermudah dan mepercepat perizinan perikanan dimana semua pengurusan perizinan hanya dibutuhkan waktu 1 jam dari surat permohonan hingga surat perizinan diterbitkan.Â
Presiden juga menegaskan akan mengawal para nelayan agar tidak perlu khawatir lagi dikejar kapal nelayan asing atau kapal patroli asing sebab presiden telah memerintahkan jajaran TNI memperketat dan meningkatkan jumlah patroli di Laut Natuna Utara.
Disamping itu, demi meningkatkan budidaya ikan khas Natuna maka pulau sedanau telah dibangun keramba ikan khusus untuk budidaya ikan napoleon.Â
Budidaya ikan ini bertujuan selain menyejahterakan nelayan budidaya tetapi juga membangun iklim perikanan yang berkelanjutan mengingat jenis ikan yang berada di perairan natuna adalah jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.Â
Ikan Napoleon sendiri diketahui merupakan ikan primadona bagi Hong Kong karena ikan ini memiliki rasa yang enak dan mengandung gizi yang tinggi.Â
Sehingga demi mempertahankan ketersediaan ikan napoleon maka diatur bahwa ikan ini hanya boleh diperjualbelikan ketika bobot ikan mencapai 1 hingga 3 kg per ekor, lebih dari 3 kg maka ikan tersebut wajib dilepaskan ke laut.
Setelah objek utama yaitu nelayan dan fasilitas pelabuhan dibangun maka kini giliran Gubernur Kepulauan Riau Isdianto mengusulkan agar Kabupaten Natuna menjadi kawasan khusus pariwisata.Â
Bukan tanpa sebab, Natuna dijadikan sebagai kawasan pariwisata ialah selain menambah pendapatan daerah, kawasan pariwisata juga akan meningkatkan citra dan eksistensi Natuna ke rancah internasional.Â
"Batu alif salah satu objek wisata bahari di Natuna," ucap Isdianto. Usulan ini telah disampaikan kepada Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Usulan ini disambut baik oleh kedua Menteri tersebut.
 Bukti keseriusan pemerintah berikutnya ditunjukkan dari perkataan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, "diplomasi internasional hingga saat ini terus digalakkan.Â
Kehadiran merupakan kata kunci yang harus dimenangkan." Maka dari itu untuk mendukung diplomasi internasional pembangunan infrastruktur menjadi langkah pertama dalam mengembalikan aktivitas perikanan di Natuna.Â
Diplomasi merupakan eksekusi akhir yang penting dilakukan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan wilayah Laut Natuna Utara dari negara lain khususnya negara tetangga seperti Tiongkok.
Sampai saat ini aktualisasi pemerintah melindungi Laut Natuna Utara melalui diplomasi ditunjukkan dalam usaha mempercepat perjanjian batas wilayah maritim dengan 10 negara tetangga.Â
"Kami pahami bahwa batas maritim Indonesia sampai saat ini masih banyak yang belum dilegitimasi oleh perjanjian batas negara. Adapun yang sudah terealisasikan baru satu perjanjian batas wilayah dengan Singapura," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kemenko Kemaritiman Agung Kuswandono.
Tidak habis sampai disitu, mewabahnya Coronavirus Disease (Covid-19) menjadi persoalan baru bagi nelayan Natuna. Walaupun produksi telah meningkat tetapi hasil tangkapan ikan tidak bisa dijual dengan maksimal terutama ekspor ke luar negeri.Â
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna, Zakimin dalam keterangan yang dirilis oleh Humas Pemda kabupaten Natuna membenarkan bahwa saat ini nelayan terkendala distribusi hasil tangkapan.Â
Namun ia menyatakan akan segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk membahas distribusi hasil tangkapan agar tetap berjalan dengan baik.Â
Sama dengan Zakimin, salah satu koordinator nelayan di Natuna, Dedek Ardiansyah menyebutkan, "yang menjadi masalah adalah ekspor. Karena Malaysia tutup sama sekali sedangkan Singapura terbatas, bisa tapi sedikit." Dedek mengatakan, sementara ini para nelayan dan instansi terkait meminta bantuan Perum Perindo unit Natuna untuk membeli hasil tangkapan.
Kendati demikian tidak bisa dipungkiri kemajuan perikanan di wilayah Laut Natuna Utara sangat diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Koordinasi yang kompak antara elemen penduduk lokal, dan pemerintah harus dijalin dengan baik.Â
Terwujudnya Laut Natuna Utara menjadi pusat tangkapan laut terbesar di dunia merupakan salah satu simbol kedaulatan Indonesia atas laut sehingga julukan Indonesia sebagai negara maritim negara kepulauan tidak sekedar omong kosong belaka namun identitas yang telah melekat sedari dahulu Indonesia tercipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H