Pendahuluan
Indonesia merupakan negara penghasil cengkeh terbesar di dunia. Nilai ekonomi cengkeh terletak pada bunga, tangkai bunga, dan daun cengkeh sebagai bahan baku campuran tembakau dalam pembuatan rokok kretek, rempah-rempah, minyak atsiri, bahan baku industri farmasi, parfum, dan aneka makanan (Hidayah et al., 2022). Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2019), cengkeh merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang termasuk ke dalam komoditi rempah penyegar dan merupakan komoditi strategis yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, sumber pendapatan petani, sumber devisa negara, mendorong agribisnis dan agroindustri dalam negeri serta pengembangan wilayah.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2020 menunjukan bahwa Indonesia adalah produsen cengkeh terbesar di dunia. Indonesia dapat memproduksi cengkeh mencapai 133.604 ton, kemudian diikuti dengan madagaskar dan Tanzila di urutan kedua dan ketiga. Madagaskar dan Tanzania dapat memproduksi cengkeh masing-masing sebesar 23.931 ton dan 8.602 ton. Dengan nilai ekspor 176,56 juta USD, Indonesia menjadi negara penyumbang ekspor terbesar pada tahun 2020. Nilai tersebut naik 84 persen dari tahun sebelumnya. Madagaskar menjadi kompetitor utama Indonesia dalam pasar ekspor cengkeh. Negara utama tujuan ekspor cengkeh Indonesia tahun 2021 yaitu India, UEA, Singapura, Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, AS, China, Peru, dan Vietnam.
Namun volume ekspor cengkeh Indonesia pada tahun 2021 menurun menjadi 20.139 ton. Diperlukan penanganan yang bijaksana untuk meningkatkan daya saing ekspor cengkeh karena melihat potensi yang ada (Mellinia, 2024). Oleh karena itu, tujuan dari artikel ini adalah untuk menentukan apakah cengkeh Indonesia memiliki keunggulan kompetitif di pasar internasional dari tahun ke tahun serta posisi Indonesia sebagai negara eksportir atau importir cengkeh. Konsep daya saing mencakup kemampuan suatu produk masuk dan bertahan di pasar internasional dengan daya saing tinggi.
Pembahasan
1. Perkembangan dan kondisi
Jika dilihat dari status pengusahanya perkebunan cengkeh dibedakan menjadi 3 yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta, dan perkebunan besar negara. Berdasarkan data yang ada, perkebunan rakyat pada tahun 2013 hingga tahun 2023 mengalami peningkatan sebesar 1,55% dan memberikan kontribusi sebesar 97,70%. untuk perkebunan besar swasta pada tahun 2013 hingga 2023 mengalami penurunan 0,23% dan pada tahun 2024  mencapai 2,36 ribu ha dan pada tahun 2023 mencapai 2,32 ribu  ha dan memberikan kontribusi sebesar 1,77%. Sedangkan perkebunan besar negeri pada tahun 2013 hingga 2023 akhir menyatakan mengalami penurunan sebesar 2,14% pada tahun 2014 luas area lahannya sebesar 6,78 ribu  ha dan pada tahun 2023 hanya hanya 5, 23 ribu ha dan kontribusinya hanya 0,53%. Perkebunan rakyat lah yang mendominasi kontribusinya terhadap produksi tanaman cengkeh yakni sebesar 98,54% daripada tanaman perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negeri. Sentra produksi cengkeh terbesar di Indonesia berada pada provinsi Maluku Tengah dengan mencapai produksi sebesar 9,86. ribu ton atau berkontribusi sebesar 46,40 % terhadap provinsi Maluku. Disusul dengan Sulawesi Selatan yang menjadi kedudukan penghasil produksi cengkeh terbesar di Indonesia kedua setelah provinsi Maluku dan diiringi dengan provinsi-provinsi lainnya. Produktivitas cengkeh di Indonesia pada periode 2013 hingga 2023 naik dengan rata-rata sebesar 4,43% pertahun akibat adanya rehabilitasi tanaman tua yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hingga kini kondisi harga cengkeh masih sekitar Rp.100.000 dan pernah mengalami penurunan harga hingga Rp. 60.000 pada bulan Juli 2024 dan mulai naik pelan-pelan pada bulan Agustus 2024. Kondisi harga yang berfluktuatif ini tentunya juga menjadi tantangan bagi produsen tanaman cengkeh.
Kebijakan cengkeh yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh. Indonesia mencapai swasembada cengkeh pada tahun 1984. Harga cengkeng yang relatif tinggi pada tingkat petani memotivasi petani untuk menanam cengkeh lebih banyak lagi. Akibatnya pada tahun 1980-an akhir kondisi cengkeh nasional yang awalnya kekurangan pasokan menjadi kelebihan pasokan. Sasaran utama pada kebijakan tataniaga adalah peningkatan dan pendapatan petani cengkeh yang tidak dapat dicapai sementara pasokan atau stok cengkeh secara nasional melebihi batas atau cenderung membengkak (Tasrif & Patria, 2022).
b. Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 4 tahun 1996 tentang harga dasar pembelian cengkeh oleh koperasi unit desa dari petani cengkeh. Kebijakan ini mengatur tentang pembelian cengkeh dadi para petani cengkeh akan dilakukan oleh koperasi unit desa (KUD) dengan harga dasar yang telah ditetapkan oleh presiden. Hasil produksi cengkeh dari para petani hanya boleh dibeli atau dijual kepada koperasi unit desa dengan ketentuan harga yang sudah ditentukan oleh presiden. Koperasi unit desa hanya diperbolehkan untuk menjual cengkeh hasil pembelian dari petani cengkeh kepada BPPC saja. KUD tidak diperbolehkan untuk menjual hasil produksi cengkeh tersebut kepada pihak lain (Widyaningrum, 2021).
c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 114/MPP/Kep/5/1996, tentang pelaksanaan tata niaga cengkeh. Produksi cengkeh yang sangat tinggi berlanjut hingga pada tahun 1996. Pemerintah mengeluarkan kebijakan inpres RI No.4 tahun 1996 yang memiliki tujuan untuk mengadakan kegiatan konversi tanaman cengkeh yang rusak dan menghentikan penanaman cengkeh yang baru. Hal ini berakibat pada harga cengkeh yang kembali turun dan BPPC yang bertugas untuk membatasi impor cengkeh dibubarkan pada tahun 1998. Pembubaran BPPC ini mengakibatkan impor cengkeh lebih tinggi pada tahun 1999-2001. Banyaknya impor yang masuk menjadikan harga cengkeh menurun tajam yang akhirnya pemerintah mengeluarkan SK Menperindag Republik Indonesia No. 528/MPP/7/2002 tentang ketentuan impor cengkeh dengan tujuan untuk memperketat syarat-syarat pengimporan cengkeh oleh industri tertentu (Hasibuan dkk, 2022).
Opini
Kebijakan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh lahir dari kebutuhan untuk mengelola surplus cengkeh akibat peningkatan produksi pasca swasembada pada 1984. Kenyataannya, kebijakan ini sulit mencapai tujuan tersebut karena stok yang berlimpah tetap menekan harga cengkeh di tingkat petani. Kelebihan pasokan merupakan hasil dari dorongan petani untuk menanam lebih banyak cengkeh ketika harga sedang tinggi, sebuah siklus ekonomi klasik yang membutuhkan intervensi yang cermat. Sayangnya, BPPC dalam praktiknya menjadi sorotan karena dinilai tidak transparan dan terkesan memonopoli perdagangan, yang justru berpotensi merugikan petani kecil.Â
Pada instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 4 tahun 1996 ini bertujuan memberikan perlindungan harga kepada petani dengan menetapkan Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai satu-satunya pembeli cengkeh dari petani sehingga petani memiliki jaminan harga minimum. Pendekatan yang terlalu terpusat ini cenderung tidak efisien karena mengabaikan dinamika pasar lokal dan kebutuhan petani yang berbeda-beda serta kebijakan seperti ini berisiko menimbulkan ketergantungan petani pada struktur perdagangan yang kurang fleksibel.Â
Kebijakan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 114/MPP/Kep/5/1996 awalnya mencoba mengontrol produksi cengkeh dengan menghentikan penanaman baru dan melakukan konversi tanaman yang rusak. Perubahan kebijakan pada 1997 menunjukkan adanya ketidakpastian dalam perencanaan jangka panjang pemerintah. Ketidakpastian ini menyebabkan harga cengkeh kembali anjlok, sehingga berdampak negatif bagi petani. Pembubaran BPPC pada 1998, meski mengakhiri monopoli, menimbulkan masalah baru berupa lonjakan impor cengkeh pada 1999-2001. Langkah pemerintah memperketat aturan impor pada 2002 adalah respons yang terlambat, tetapi setidaknya mencerminkan kesadaran akan perlunya kontrol pasar yang lebih baik.
Kesimpulan
Cengkeh merupakan komoditas unggulan di Indonesia dengan peningkatan luas areal, produktivitas, dan produksi yang terus berkembang. Pertumbuhan konsumsi cengkeh mencapai 4,80% per tahun, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri rokok kretek yang menyerap sekitar 91,32% dari total produksi. Harga cengkeh sempat berfluktuasi dalam beberapa tahun terakhir, namun tren peningkatan harga mulai terlihat pada 2024.
Langkah strategis telah diambil pemerintah untuk mendukung keberlanjutan komoditas ini. Kebijakan stabilisasi harga diterapkan melalui penetapan harga minimum dan subsidi pupuk bagi petani. Pembatasan impor juga diberlakukan untuk melindungi produk lokal dari tekanan pasar global. Program pelatihan dan edukasi dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian cengkeh. Tata niaga diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1996 yang bertujuan memastikan distribusi keuntungan secara adil sepanjang rantai pasok.
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya terdapat beberapa hal yang dapat disarankan bagi komoditas Cengkeh adalah pemerintah dapat mendukung keberlanjutan melalui pembangunan infrastruktur, subsidi alat pertanian, dan pengaturan harga minimum untuk melindungi petani. Diversifikasi produk berbasis cengkeh, seperti farmasi dan kosmetik, juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada industri rokok. Peneliti dapat mengembangkan varietas unggul, teknologi pascapanen, dan eksplorasi pasar baru. Petani perlu mengadopsi teknik pertanian modern, bergabung dalam koperasi, dan memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas.
Daftar Pustaka
Direktorat Jendral Perkebunan. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia. (Cengkeh). Jakarta
Sekretariat jendral kementrian pertanian. (2023): Buku Outlook Komoditas Perkebunan  Cengkeh. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2023Â
Mellinia, S. & Wijayanti, E. (2024). Competitiveness Analysis of Indonesian Clove Export in the International Market. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Bisnis, 8(3).
Hidayah M., Anna, F., & Lukytawati A. (2022). Daya Saing Ekspor Cengkeh Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 6(3).
Widyaningrum, S. (2021). Urgensi Penerapan Leniency Programs Terhadap Penegakan Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jurnal Kawruh Abiyasa, 1(1), 82-93.
Tasrif, M. J., & Patria, G. (2022). Analisis Perilaku Harga Dalam Memasarkan Cengkeh Di Jawa Tengah. Jurnal Akses, 14(1).
Hasibuan, A. I., Syaukat, Y., & Falatehan, A. F. (2022). Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Impor Cengkih Indonesia. Jrb-Jurnal Riset Bisnis, 6(1), 144-160.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H