Napoe. Sebuah desa di ujung utara kabupaten Sumba Timur. Orang-orang yang sering melintas ke arah sini, biasa menyebutnya jalur Pantura.Â
Namun, ada yang lebih dari itu. "Kambatang Kalitu, Kikung Kalangga." Sebuah bait adat desa Napu, yang dulunya adalah pusat pemerintahan Kerajaan Napu pada Masa Swapraja.
Napu lebih dari sekadar desa. Ia berbatasan langsung dengan kampung pertama leluhur orang Sumba, Wunga. Kambata Lumbu Hoba Kiku La Patauna.Â
Napu adalah rumah para pejuang kemerdekaan, di antaranya adalah Reku Landu Urang dan Umbu Ndilu Danguramba.Â
Lebih dari itu, Napu dulunya adalah sebuah kerajaan, seperti halnya kerajaan-kerajaan Sumba yang pernah ada. Kerajaan Napu dibentuk tahun 1860 dengan raja pertama adalah Umbu Kambara Windi.
"Itu kampung Halambar Cuna," kata Andani mengarahkan pandangan saya ke sebuah kampung yang dikelilingi pagar batu.
"Kalau masuk di sana tidak bayar?"
"Gratis."
Perjalanan kami sebentar lagi tiba. Saat melewati sebuah danau yang sejauh mata memandang, sangat indah nan eksotis, "itu danau Kalambar Cuna," katanya lagi.Â
Dan selanjutnya saya tidak ingat lagi ibu kepsek cerita apa tentang danau itu. Di ujung sana, ada sebuah rumah yang terlihat dari perjalanan. "Itu sam rumah, yang ada seng besar."
"Baru, masuk lewat mana suh?"
"Ada jalan masuk sebentar."
Desa Napu berjarak 67 kilometer dari Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur. Topografinya yang didominasi oleh padang sabana yang luas, membuat saya berandai-andai sepanjang perjalanan.Â
Andai jalanan di Jalur Pantai Utara ini semulus jalanan di Jalur Selatan, meski hanya sebagian, barangkali orang-orang yang merindukan kedamaian bisa menikmati perjalanan yang menyenangkan.Â
Barangkali juga, jiwa muda para pecandu selfie jalanan bisa menikmati keindahan sabana Napu yang dihiasi hewan-hewan gembalaan.
Dan, kami tiba di kantor desa Napu, setelah dalam perjalanan dikenyangkan buah Kalaga Jawa yang dipanjat langsung oleh tuan rumah.Â
"Sudah lama saya tidak naik pohon anonak," katanya. Maka, ia dengan senang hati memanjat pohon itu. Jika tidak, memori masa kecilnya akan terlindas begitu saja. Sebab, sudah lebih dari 10 tahun tidak panjat pohon.
Di kantor Desa, kami disambut oleh kepala desa Napu, Hendrik Hamba Pulu tepat sebelum memasuki kantor desa. Kemudian, di sinilah saya berada, mengikuti arah mata angin yang entah mau dibawa ke mana.Â
Tapi dalam cerita ini, saya dibawa oleh kk Martha Hebi dan kk Andani. Di tempat ini, tidak banyak cerita yang bisa saya rekam dalam otak saya, sebab, bayangan pertama saya adalah jalannya yang mulus, semulus yel-yel perubahan yang sering kita dengar itu.
Barangkali yang mendambakan perubahan itu berwujud oposisi. Barangkali berasal dari mereka yang tidak puas. Barangkali juga datang dari dahaga yang paling dalam, sedalam janji manis para peramu kebijakan.Â
Entah sebagai dongeng dalam dunia nyata atau sebagai kenyataan yang didongengkan, yang jelas, suara-suara perubahan selalu mengaung dan menggema.
"Kita pergi jemput Apu dulu," kata kk Martha. Kami lalu berangkat bersama, termasuk tuan rumah yang bersama kami, sebab dialah yang tahu jalan.Â
Sepulang dari menjemput Apu, kami kembali ke kantor desa, kemudian menuju sumber mata air yang tidak pernah kering meski musim kemarau. Lalu, kami singgah sebentar di kampung Napu.
Di kampung Napu, berdiri kokoh rumah-rumah menara yang menjulang tinggi. Setinggi peradaban Sumba yang masih kokoh menentang perubahan zaman. Konon katanya, di kampung inilah, dahulu, padang penggembalaan diubah menjadi kampung Napu oleh Umbu Renggi Mehakati.
Tidak banyak yang bisa diceritakan dari tempat ini, meski tuan rumah ajak keliling, tapi karena sekikir informasi, eh, kampung Wunga hanya difoto jarak jauh. Legenda Kalambar Cuna hanya terdengar sebagai legenda.Â
Dan, kampung Halambar Cuna hanya dilihat dari seberang jalan. Semoga ada kesempatan lagi ke sini. Hanya di Kampung Napu, cerita itu singkat sesingkat-singkatnya tuan rumah dipaksa bercerita.
"Di kampung Napu ini ada marga Uma Bara, Uma Bakul, Analingu Uma Bohu," kata ibu kepsek, Andani menjelaskan. Dan, saya hanya mengangguk, tanpa membantah. Sebab, bantahan setitik, akan menetap sebelanga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H