"Kita pergi jemput Apu dulu," kata kk Martha. Kami lalu berangkat bersama, termasuk tuan rumah yang bersama kami, sebab dialah yang tahu jalan.Â
Sepulang dari menjemput Apu, kami kembali ke kantor desa, kemudian menuju sumber mata air yang tidak pernah kering meski musim kemarau. Lalu, kami singgah sebentar di kampung Napu.
Di kampung Napu, berdiri kokoh rumah-rumah menara yang menjulang tinggi. Setinggi peradaban Sumba yang masih kokoh menentang perubahan zaman. Konon katanya, di kampung inilah, dahulu, padang penggembalaan diubah menjadi kampung Napu oleh Umbu Renggi Mehakati.
Tidak banyak yang bisa diceritakan dari tempat ini, meski tuan rumah ajak keliling, tapi karena sekikir informasi, eh, kampung Wunga hanya difoto jarak jauh. Legenda Kalambar Cuna hanya terdengar sebagai legenda.Â
Dan, kampung Halambar Cuna hanya dilihat dari seberang jalan. Semoga ada kesempatan lagi ke sini. Hanya di Kampung Napu, cerita itu singkat sesingkat-singkatnya tuan rumah dipaksa bercerita.
"Di kampung Napu ini ada marga Uma Bara, Uma Bakul, Analingu Uma Bohu," kata ibu kepsek, Andani menjelaskan. Dan, saya hanya mengangguk, tanpa membantah. Sebab, bantahan setitik, akan menetap sebelanga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H