DBD dan Politik DBD (Demen Berkata Dusta)
Membaca berita dan informasi terkait Demam Berdarah Dengue (DBD) pasca ditetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh pemda sumba timur, membuat hati ini terisis. Sedih. Bagaimana tidak? Prahara DBD ini kian berlanjut. Dan lagi-lagi penyakit DBD ini mengancam dan mencabut nyawa anak-anak yang tak berdosa.
Miris juga. Fenomena DBD ini seakan terkubur oleh maraknya fenomena politik dibelantika tanah air, pun di daerah. "Mereka" seakan-akan tidak peduli dengan Kejadian Luar Biasa ini. "Mereka" sibuk beretorika, orang tua menangis, korban jiwa terus berjatuhan. Terbaru, sudah 15 nyawa yang hilang akibat DBD ini.
Lalu, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menekan angka kematian penderita DBD?? "Biasakan hidup sehat dan 3M". Pasca ditetapkannya DBD ini sebagai KLB, langkah kongkrit apa yang perlu kita lakukan untuk menekan angka kematian penderita DBD?Â
"Biasakan hidup sehat dan 3M". Lalu, bagaimana cara penanggulangan bagi mereka yang sudah terserang penyakit ini? Jawabannya tetap sama. "Biasakan hidup sehat dan 3M".
Di Kabupaten Sumba Timur selain dilanda wabah DBD yang sangat mengerikan dengan ancaman pada kematian ini, juga ada wabah DBD yang tak kalah akutnya. Sangat meresahkan dan menakutkan masyarakat  dalam menghadapi konteks Pileg dan Pilpres. Ya, inilah Demen Berkata Dusta (DBD) ala politikus zaman edan yang sangat ahli membuat seni dan ilusi.Â
Seni mempermainkan kata, dan ilusi membual. Mereka berkata manis, janji-janji manis, memberi angin surga, semuanya hanya akal bulus saja, untuk meraih kursi.
Pasca ditetapkannya sebagai KLB, di Sumba Timur hampir tiap hari ada korban DBD. Lalu apa upaya pemerintah untuk menekan angka kematian rakyatnya yang sudah terkena dampak DBD?Â
Sebagai masyarakat biasa yang sibuk lalu lalang di media sosial hanya untuk chattingan, nonton film dan asyik-asyikan, Saya tidak tahu (mungkin karena Saya kurang membaca).Â
Tapi sejauh yang saya amati, pemerintah melalui dinas terkait (dinkes) telah mengupayakan untuk melakukan fogging, pembagian abate dan Jumantik. Namun apakah itu cukup???
TIDAK!!! Kita tahu bahwa DBD ini telah ditetapkan sebagai KLB. Oleh karena itu, suatu kejadian yang dikatakan luar biasa harus ditangani secara luar biasa pula (planing luar biasa, koordinasi luar biasa, kolaborasi, aksi medis & evaluasi luar biasa).Â
Tidak cukup dengan hanya "biasakan hidup sehat dan 3M" yang katanya demikian. Luar biasa artinya di segala lini/ menyeluruh, secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya.Â
3M adalah salah satu saja dari sekian dimensi penanganan menyeluruh. Meski demikian, apa yang disampaikan tentang 3M itu bukanlah suatu kesalahan, sebab 3M merupakan langkah PENCEGAHAN.
Dari data yang dihimpun dari Pos_Kupang, hingga 5 Maret 2019, ada sekitar 585 kasus pasien DBD dan 15 Kasus DBD  yang telah meninggal. Sungguh sangat miris bukan? Jelas bahwa kita tidak lagi hanya berbicara tentang PENCEGAHAN tetapi juga harus bicara tentang PENANGGULANGAN daripada KLB itu sendiri. 👇
Berikut tayangan berita terkait tentang DBD di Kabupaten Sumba Timur yang sangat memprihatinkan:
Hidup bersih dan 3M itu sudah benar sebagai langkah pencegahan & wajib dilaksanakan oleh setiap masyarakat. Tetapi, TIDAK SEMUA MASYARAKAT MENGERTI, MEMAHAMI & SADAR BAHWA HIDUP SEHAT ITU PENTING.Â
Perlu adanya PENYULUHAN dari dinas terkait tentang tata caranya yang baik dan benar, program-program pemberantasan KLB, dan solusinya bagi masyarakat.Â
Penangulangan KLB DBD tersebut meliputi : penyelidikan epidemiologis, penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina, pencegahan penyakit, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah, penyuluhan kepada masyarakat dan upaya penanggulangan lainnya seperti Jumantik dan Fogging.
Sering Saya melihat yang diupload dan dibagikan dimedia sosial (FB) adalah Fogging, pertanyaannya: "Masih efektifkah FOGGING untuk membunuh nyamuk?" Disisi lain, musibah yang menimpa anak-anak kita sekarang, berpontensi bertambah. Dan rasanya belum akan berakhir.
Ah, nyatanya kita lebih senang membicarakan politik yang terus ramai dan panas. Kita lebih senang diajak berpolitik dalam keadaan duka (korban)  dan maraknya  kasus DBD. Kita lebih senang untuk mengabaikan persoalan yang sangat genting ini.Â
Jangan sampai kita larut dalam politik DBD (Demen Berkata Dusta) hingga menggabaikan DBD (Demam Berdarah Dengue) yang sesungguhnya. Rasanya sudah terlalu lama dari hari ke hari  politik begitu sangat  berisik. Semua pada ribut, semua pada berebut kekuasaan. "Maklum.... Tahun politik" kata temanku.
Hakikat pemilu tentu bukanlah soal kekuasaan semata. Pemilu bukanlah sekedar mengantar politisi dan partai politik menjadi pemenang dan berkuasa, tetapi lebih dari itu, adalah menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menciptakan kemaslahatan bersama untuk menentukan nasib bangsa dan negara ke depannya. Termasuk juga untuk ikut mengambil bagian dalam upaya-upaya pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan KLB DBD ini.
Buarang: "Ah kamu bisanya cuma koar koar dimedsos saja John! Banyak bacot loh!!!"
John: "Yaelah Buarang!!!! Ko suh lupa kah kalo kita ini suh hidup era Revolusi 4.0 yang memungkinkan kita berdemokrasi melalui teknologi?"
Buarang: "Tapi kan intinya ko banyak bacot disosmed saja. Kalo begitu Sa ju bisa bacot sana bacot sini"
John: "Duuuuhh! Susah kalo Sa jelaskan sama ko. Intinya begini suh cara masyarakat 4.0 mengkritik. Itu wajar".
Buarang: "Sama se! Tidak ada pengaruh sama sekali kop bacot disosmed".
John: "Aihhh!!! Ko suh lupa kah kalo petisi itu ada yang bersifat online? Ini adalah cara mudah membuat masyarakat 4.0 melek politik. Kata kasarnya supaya orang kayak Kau itu peka dengan keadaan! Kalo ini berguna, kenapa tidak dimanfaatkan?"
Buarang: "Iya juga yah...,"
John: "Biar kop otak encer, ko nonton lagi satu kali ini video👇!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H