Lewat kajian semiotika politik, kita bisa membongkar pesan tersembunyi beragam peristiwa politik yang terjadi di tanah air. Kali ini, kita akan bongkar pesan politik tersembunyi surat SBY yang mengkritik kampanye akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno (Minggu/7/4/19).Â
Kantor berita BBC Indonesia (8/4/19) memberi judul terkait dengan peristiwa itu seperti ini, "Surat SBY soal 'politik identitas', kritik Prabowo atau demi elektabilitas Demokrat? Berita ini bisa menjadi pemantik kritis awal kita membaca pesan politik yang sebenarnya.
Saya kira, pesan politik atau kritik sebenarnya bukan persoalan kampanye yang dinilai tak lazim dan tak inklusif itu. Kenapa? Sebagai tokoh yang sangat berpengalaman dikancah politik bahkan bisa menjadi presiden dua periode, SBY tentu bukan politisi yang lugu.Â
Argumen itu begitu mudah dibantah dan justru tak produktif. Bagi saya, pesan politik yang tersembunyi, tak pernah diulas di media, SBY tidak ingin Prabowo menang. Itu. Bagaimana penjelasannya?
Dalam surat yang beredar di media dan sangat besar kemungkinan sengaja disebarkan, terlihat SBY begitu curiga dan bahkan cenderung memberikan stigma Prabowo memainkan politik identitas. Tuduhan ini tentu tak berdasar. Kenapa? Yang jelas-jelas memainkan politik identitas, justru kubu Jokowi.Â
Kumpulan partai "nasionalis" yang terang-terangan menjadikan Kiyai Ma'ruf Amin sebagai cawapres dengan tujuan meraup dukungan kalangan Islam, khususnya NU.Â
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari hebohnya surat SBY itu? Jelas, tanpa analisis yang mendalam, kubu petahana paling diuntungkan. Kubu Prabowo paling dirugikan. Hanya saya kira, surat itu tak begitu banyak bepengaruh.
Di tengah gegap gempita pilpres, memang nama SBY nyaris tenggelam. Setelah gagal mengantarkan anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi gubernur Jakarta, kemudian gagal menjadi cawapres Prabowo, nyaris SBY jarang mendapat tempat di panggung politik.Â
Lantas, bagaimana nasib partai Demokrat? Nah, sebenarnya inilah point utamanya. Artinya apa? Surat yang beredar ke publik itu sejatinya menjadi semacam posisi tawar SBY untuk menyelamatkan Demokrat. Itu saja.
Kalau kita lihat data, diantaranya Kajian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dirilis Juli 2018 diprediksi total suara Demokrat hanya 4,4%. Sementara survei Litbang Harian Kompas, Demokrat disebut bakal meraih 4,6% suara nasional.Â
Salah satu survei terkini, yang dilakukan Charta Politika, memprediksi Demokrat meraup 5,2% suara. Dengan data demikian, maka wajar Demokrat mencari cara jitu agar elektabilitasnya naik.Â
Dan saya kira, Demokrat tak terlalu peduli siapa presidennya kelak. Kenapa? Demokrat gagal bermain di dua kaki dan akhirnya kurang mendapat apresiasi. Di kubu Jokowi tak mendapat tempat, di kubu Prabowo dipandang sebelah mata.
Dalam kasus ini, kalau kita ingat petuah Peter Berger dan Thomas Luckmann lewat "The Social Construction of Reality" SBY mencoba merangsek masuk, mencari perhatian publik dengan realitas pandangan yang coba ditawarkannya. Sayangnya, kita begitu mudah membongkarnya.Â
Kita bisa bongkar lewat "provokasi" Jacques Derrida lewat teori dekonstruksinya, dengan pikiran kritis kita lihat bagaimana interpretasi yang digunakan SBY terhadap realitas sosial bersifat sewenang-wenang. Dalam kasus, ini tuduhan SBY yang sewenang-wenang menduga kampanye akbar Prabowo-Sandi tidak inklusif adalah tuduhan receh tak berdasar.Â
Ketika SBY menginginkan "Semua untuk Semua" rasanya, itu hanya retorika, terlihat bijak tapi tak pernah ada. Sama halnya ketika ada pejabat yang bilang "Ini tanggung jawab kita bersama". Terlihat elok, tapi sebenarnya yang terjadi adalah tidak ada yang mau bertanggungjawab.Â
Begitu juga, menilai politik identitas hanya karena ada shalat subuh dan tahajud berjamaah, itu sebuah kepicikan cara pandang yang mesti diluruskan.
Dari sini, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya, SBY tak peduli siapa presidennya kelak. Dia hanya peduli misalnya bagaimana anaknya, AHY mendapatkan tempat dipanggung politik. Kalau soal ini, barangkali dia akan berjuang habis-habisan.Â
Memang, kita juga perlu apresiasi politisi Demokrat di televisi dan medsos yang habis-habisan promosikan Prabowo-Sandi seperti Jansen Sitindaon, Ferdinan Hutahaean dll.Â
Harusnya, itu fokus yang mesti dilakukan. Itu sebabnya, daripada memainkan politik "baper". Demokrat mesti lebih produktif berjuang habis-habisan menangkan Prabowo-Sandi, setidaknya, itulah harapan, sebab di kubu Jokowi-Amin,sudah jelas harapan itu tak ada lagi. [yons achmad, pengamat medsos, tinggal di Depok)]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H