Mohon tunggu...
Yones Budiono
Yones Budiono Mohon Tunggu... Lainnya - yones budiono

🔄 Listen || Observe || Share 🔄

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Komodo Bukanlah Komedi

27 September 2021   10:29 Diperbarui: 27 September 2021   10:33 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi/dokumen pribadi

Tanggal 27 September diperingati sebagai Hari Pariwisata Dunia oleh UNWTO, adalah hal yang tepat bilamana kita kembali menyoroti isu pariwisata dunia termasuk di level lokal. 

Maka, pada kesempatan ini penulis mengangkat isu pariwisata dan konservasi di wilayah Taman Nasional Komodo (selanjutnya ditulis TNK ) dan Labuan Bajo. Ulasan ini sebagai usaha memperkaya perspektif dan bukan suatu pretensi menolak secara total pembangunan yang sedang berjalan.

TNK menyimpan rupa-rupa potensi. 

Sumber daya yang ada mempunyai nilai ekonomi yang fantastis. Keberadaanya sangat mendukung kelangsungan industri pariwisata Labuan Bajo-Flores yang sudah dipredikat sebagai pariwisata super premium. 

Menyambung hal tersebut, tidak salah banyak investor asing coba merebut zona konservasi ini sebagai ladang investasi. 

Mendapat restu dari Negara (baca: pemerintah) semacam surplus tersendiri karena mimpi mengais pundi-pundi rupiah di kawasan TNK akan terwujud. 

Pemerintah optimis bahwa memberikan izin kepada pihak tersebut, maka secara agregat ekonomi; pendapatan Negara akan meningkat dan tersedianya lapangan kerja yang baru.

Sebagaimana diketahui bahwa TNK adalah habitat asli binatang purba komodo dan merupakan zona konservasi. 

Target investasi dan upaya privatisasi kawasan tentu menuai polemik (pro-kontra) di tengah masyarakat. 

Fenomena seperti ini, perlu didiskusikan secara intensif karena komodo bukan menjadi tanggung jawab pemodal dan pemerintah semata. 

Keberlangsungan dan keberlanjutannya adalah tanggung jawab kita bersama. Mengacu pada tuntutan di atas, perlunya merumuskan kembali masalah yang ada.  

Pertanyaan kunci berikut dengan harapan dapat memotret masalah terdasar yang ada "Apakah ada aspek yang perlu dipertimbangkan akan hadirnya investasi di zona konservasi TNK?" Menjawab pertanyaan tersebut di atas, pentingnya membaca data yang relevan dengan isu TNK.

Media daring VOA edisi Minggu (5 September 2021) memberitakan bahwa "Komodo Masuk Daftar Merah Hewan yang Terancam Punah". Laporan tersebut diterbitkan oleh Serikat Internasional bagi Konservasi Alam (International Union for the Conservation of Nature/IUCN). 

IUCN mengatakan spesies itu "semakin terancam oleh dampak perubahan iklim." IUCN mencatat naiknya permukaan laut diperkirakan akan menggerus habitat komodo hingga 30 persen dalam 45 tahun ke depan.

Masih mengutip sumber yang sama "Kemungkinan hewan pra-sejarah ini satu langkah lebih dekat menuju kepunahan akibat perubahan iklim, sangat menakutkan," kata Andrew Terry, Direktur Konservasi pada Masyarakat Zoologi London. 

Penurunan itu adalah "seruan keras agar alam diprioritaskan dalam semua pengambilan keputusan" ujarnya dalam pembicaraan iklim PBB di Glasgow.

Sekitar 28 persen dari 138.000 spesies yang dipelajari oleh IUCN kini terancam punah selamanya karena dampak aktivitas manusia. 

Pesan penting dari Kongres IUCN yang diadakan di Perancis adalah menghilangnya spesies dan kehancuran ekosistem merupakan ancaman yang sejalan dengan perubahan iklim

Kemudian pada level lokal, lembaga yang serius merespon isu lingkungan di wilayah Flores-Komodo adalah Sunspirit For Justice and Peace --Labuan Bajo. Lembaga penelitian dan advokasi ini dapat dijadikan refrensi untuk melihat problem fundamental di TNK. 

Mereka secara intensif mendiskusikan sejauh mana urgensi keprihatinan keberlanjutan hewan purba yang hidup di kawasan TNK. 

Sunspirit For Justice and Peace --Labuan Bajo pun mencatat kisah kelam bisnis di TNK yang tanggung jawabnya tidak jelas, dalam hal ini Negara dapat dikatakan rugi.

Dihimpun dari media lokal terkait sejarah mulainya investasi di TNK, perusahaan pertama yang masuk ialah PT Putri Naga Komodo (PNK). Perusahaan ini beroperasi pada 2003, dengan mengantongi SK Kemenhut Nomor 195/Menhut-II/2004 tanggal 9 September 2003. 

PT PNK mendapatkan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun terhitung sejak 2004 sampai dengan tahun 2034. PT PNK merupakan joint-venture atau perusahaan antara PT Jayatsa Putrindo dan The Nature Conservancy.

Sunspirit For Justice and Peace menjelaskan "Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini kemudian bubar tanpa ada pertanggung jawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara perusahaan dan departemen keuangan terkait dana konservasi sejumlah 16 miliar rupiah" (Floresa.co, 5 Agustus 2021).

Sesudah PT PNK bubar, muncul perusahaan baru yang juga mengajukan permohonan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam. Sunspirit For Justice and Peace --Labuan Bajo menyebutkan perusahaan yang masih mengantongi izin investtasi di Taman Nasional Komodo diantaranya: PT Segara Komodo Lestari (SKL) di Pulau Rinca, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Komodo, PT Synergindo di Pulau Tatawa". 

 Polemik yang kontradiktif melahirkan gelombang protes publik dan tidak dapat dihindarkan. Menolak investasi (baca: pembangunan) didukung berbagai jenis alasan dan bilamana dirangkum bahwasannya pembangunan di dalam kawasan TNK justru mengganggu prinsip konservasi. 

Sikap menolak, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai 'kepedulian' orang-orang akan kelangsungan hidup hewan purba komodo sangatlah tinggi.

Jelas bahwa komodo adalah satu-satunya hewan purba yang tersisa di muka bumi. 

Tanggung jawab kelestariannya tentu sangat kompleks. Berbicara komodo dan ruang geraknya adalah sesuatu yang serius dan menjadi urgensi tersendiri. 

Penulis sangat mengapresiasi pihak yang berpikir antagonis sehingga skema pembangunan tidak diterima begitu saja. 

Suatu kewajiban bagi warga Negara merumuskan masalah yang ada. Lebih jauh lagi, kedua belah pihak (pro-kontra) bukan untuk saling mengintervensi-tapi bersama mencari poros baru walaupun dianggap hal yang mustahil.

Memahami realitas terdasar seperti ini menjadi bahan evaluasi ke depannya. Bagaiamana aktivitas pariwisata dan prinsip konservasi tetap berjalan relatif seimbang. 

Pada konteks pariwisata yang berbasis lingkungan; norma kepariwisataan Indonesia menyebutkan, kepariwisataan dikembangkan dengan prinsip adanya keseimbangan antara mengambil manfaat dan kewajiban memelihara alam (Ardika, 2018: 24). 

Tataran ini, situasi masuk dalam fase yang serba paradoksal. 

TNK dengan segala isinya memiliki potensi untuk maju secara agregat ekonomi karena bisnis pariwisata dan gagal sekaligus dari karena prinsip konservasi yang justru kemungkinan diabaikan.

Sejalan pengalaman pribadi penulis, saat masih duduk di semester IV yang dimana Dr. Widi Hardini (dosen pengampu matakuliah Studi Lingkungan Hidup) di Universitas Triatma Mulya Bali memberikan pertanyaan terbuka terkait tema pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). 

Pertanyaannya seperti ini; "Pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks eko wisata, mana yang lebih ideal Eco Tourism by Name atau Eco Tourism in Action?"

Rupa-rupa jawaban dan aneka argumentasi dilontarkan oleh masing-masing mahasiswa yang ada di kelas daring tersebut. 

Tataran ini, secara sengaja tidak masuk pada usaha mencari benang merah dari topik yang angkat. Karena hemat jawaban atas pertanyaan terbuka Dr. Widi Hardini tersebut butuh refrensi khusus untuk didiskusikan lebih lanjut. 

Idealnya "eko wisata dari segi nama atau eko wisata pada ranah aksi?", sama-sama tidak jelas skenario mana yang terbukti lebih akurat. Kembali pada konteks TNK potensi suksesnya investasi atau kemungkinan gagalnya konservasi sama-sama membutuhkan jawaban yang lebih akurat.

Dipahami bahwa, apapun skema pembangunan di suatu wilayah pentingnya disaring kembali. Obyek dan subyek dari suatu pembangunan bukan sebagai penerima pasif. 

Karena bagaiamapun, tidak ada satu pun pembangunan yang mutlak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat, ada hal-hal tertentu yang dipertimbangkan. 

TNK dengan segala persoalannya menjadi sesuatu yang menarik dikaji. Sebab kalau tidak demikian, meminjam refleksi Mbah Ben (Filsafat Pariwisata, 2018) pariwisata Indonesia masih dan terus didominasi positivistic, yaitu pembangunan yang mengutamakan ekonomis, kauntitatif. 

Lebih lanjut, industri pariwisata hanya dipahami sebagai sisi ekonomi dan komersial (Ben, 2018: 114).

Menyadari fakta seperti ini; adalah hal yang tepat di Hari Pariwisata Dunia tahun 2021, UNWTO memberikan sorotan penuh terhadap "Pariwisata untuk Pertumbuhan Inklusif". 

Pada kesempatan ini, UNWTO ingin mengajak seluruh orang untuk melihat lebih dalam lagi, bukan hanya sekedar angka dan statistik, melainkan juga para pegiat yang ada di balik itu semua (www.indonesia.travel)

Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dan super premium dalam konteks pariwisata Labuan Bajo, harapannya; pelabelan tidak sebatas simbolisme. 

Melihat alasan konservasi, tingkat kepunahan komodo yang sangat tinggi dan pada bagian lain tuntutan perbaikan ekonomi tetap diperhatikan menjadi basis polemik (pro-kontra).

Tentu masih ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan dari aktivitas pariwisata dan konservasi itu sendiri. Misalnya; persoalan manusia, martabat, kualitas hidup, peradilan, nilai estetika, etika, keterbukaan dan lain-lain. 

Mengambil judul dari ulasan ini, Komodo Bukanlah Komedi suatu gambaran bahwa berbicara hewan purba komodo dan ruang geraknya adalah sebuah urgensi. Sehingga gilirannya Hari Pariwisata Dunia (setiap 27 September) sebagai momentum yang tepat untuk membicarakannya.


REFRENSI
1 2 3
Ardika dkk, 2018, Kepariwisataan Berkelanjutan : Rintis Jalan Lewat Komunitas, Edisi Pertama, Kompas, Jakarta

Ben, 2018, Filsafat Pariwisata: Sebuah Kajian Filsafat Praktis, Edisi Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun