Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jokowi Declare Pemenang Pilpres, untuk Apa PSU?

16 Februari 2024   12:43 Diperbarui: 16 Februari 2024   12:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty menegaskan, sedikitnya 1.400 TPS berpotensi lakukan pemungutan suara ulang (PSU). Menurut Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, pemungutan suara di Kuala Lumpur Malaysia juga harus diulang.

Ketiga, sistem hitung KPU Sirekap masih menyisa masalah mendasar. Meski data yang muncul didasarkan formulir C1 yang dikirim oleh KPPS, tetapi Sirekap sering error menerjemahkan gambar ke angka (numerik). Munculnya angka 80 ribu, bahkan 800 ribu dan 3,5 juta dari satu TPS menunjukkan dengan jelas adanya kesalahan sistem yang perlu diperbaiki sehingga angka yang muncul saat ini tidak dapat dijadikan patokan.      

Keempat, banyaknya laporan kecurangan, terutama terkait surat suara yang sudah tercoblos, penggelembungan suara, hingga intimidasi secara terstruktur baik yang dilakukan oknum aparat maupun kepala desa.

Kelima, Timnas Anies Rasyid Baswedan -- Muhaimin Iskandar (AMIN) dan TPN Ganjar Pranowo -- Mahfud MD telah menemukan pola dugaan kecurangan yang dibagi dalam 9 kluster. Kedua tim pemenangan sepakat akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Perlu dipahami, melakukan gugatan sengketa hasil pemilu ke MK adalah koridor yang disediakan UU. Oleh karenanya semua pihak hendaknya wajib menghormati jalur yang ditempuh Timnas AMIN dan TPN Ganjar-Mahfud.

Sekali lagi, semua pihak hendaknya menghormati dan mematuhi aturan pemilu, termasuk proses rakapitulasi manual oleh KPU dan penyelenggara di bawahnya.  

Oleh karenanya, pemberian ucapan selamat oleh Presiden kepada pasangan Prabowo-Gibran, yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk pengakuan atas kemenangannya, sementara proses di KPU masih berlangsung, sangat tidak etis.

Dengan telah adanya pengakuan pemenang dari Presiden, bukankah sia-sia jika pun KPU menggelar pemungutan suara susulan dan PSU?

Taat aturan, menjunjung etika dan menjadi bijak adalah pilihan. Tidak semua orang bisa melakukan, termasuk Presiden Jokowi.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun