Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jokowi Declare Pemenang Pilpres, untuk Apa PSU?

16 Februari 2024   12:43 Diperbarui: 16 Februari 2024   12:51 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bertemu Prabowo di Magelang saat masa kampanye. Foto: Kompas.com

Presiden Joko Widodo mengaku telah memberikan ucapan selamat kepada pasangan Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka yang berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) memenangi Pilpres 2024. Etiskah sikap Jokowi?

Hingga saat ini rekapitulasi suara hasil Pemilu 2024, baik legislatif maupun presiden, masih berjalan. Sesuai Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 penghitungan surat suara secara manual dilakukan berjenjang mulai 15 Februari sampai 20 Maret 2024.

Meski ada rilis hasil quick count, masyarakat diminta tetap menunggu hasil real count. Sebab quick count hanya didasarkan pada sampling beberapa TPS. Umumnya pada kisaran 1.200 sampai 2.000 TPS seperti dilakukan Litbang Kompas. Sementara jumlah TPS pada Pemilu 2024 mencapai 820.161.

Dari beberapa kali penyelenggaraan pemilu, hasil quick count dipastikan berbeda dengan real count. Meski margin-nya berbeda-beda, yang perlu digaris bawahi, selisih antara quick count dengan real count tetap ada. Bahkan lembaga yang melakukan quick count pun memberikan disclaimer berupa margin error sebesar 1 persen.    

Penyeleggara pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu, juga berulangkali menekankan quick count bukan alat legitimasi hasil pemilu. Oleh karenanya, ketika Presiden Jokowi memberikan ucapan selamat kepada Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilres 2024, kita mempertanyakan etikanya. Terlebih jika ucapannya didasarkan pada hasil quick count.

Sebab presiden adalah juga kepala negara yang memiliki tanggung jawab terselenggaranya pemilu sesuai ketentuan perundang-undangan yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas dan rahasia, serta jujur, adil dan bermartabat.

Bahkan andai seluruh pihak, termasuk kontestan lain telah mengakui kekalahannya, namun proses rekapitulasi surat suara masih berjalan, Presiden tetap wajib menahan diri sebagai bentuk penghormatan terhadap kinerja penyelenggara dan proses pemilu yang masih berlangsung.

Terlebih proses Pilpres 2024 masih jauh dari kata selesai. Ada beberapa permasalahan yang perlu dituntaskan untuk mendapatkan hasil yang legitimate sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.    

Pertama, ribuan TPS yang tersebar di berbagai daerah belum melaksanakan pemungutan suara karena terkendala berbagai persoalan seperti banjir, gangguan keamanan, hingga surat suara sudah tercoblos sebelum digunakan.

Menurut Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri terdapat 1.297 TPS di Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang belum melaksanakan pemungutan suara. Sementara di Demak, 120 TPS belum bisa menyelenggarakan pemungutan suara karena banjir. Hal serupa terjadi di beberapa daerah, termasuk DKI Jakarta.

Kedua, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty menegaskan, sedikitnya 1.400 TPS berpotensi lakukan pemungutan suara ulang (PSU). Menurut Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, pemungutan suara di Kuala Lumpur Malaysia juga harus diulang.

Ketiga, sistem hitung KPU Sirekap masih menyisa masalah mendasar. Meski data yang muncul didasarkan formulir C1 yang dikirim oleh KPPS, tetapi Sirekap sering error menerjemahkan gambar ke angka (numerik). Munculnya angka 80 ribu, bahkan 800 ribu dan 3,5 juta dari satu TPS menunjukkan dengan jelas adanya kesalahan sistem yang perlu diperbaiki sehingga angka yang muncul saat ini tidak dapat dijadikan patokan.      

Keempat, banyaknya laporan kecurangan, terutama terkait surat suara yang sudah tercoblos, penggelembungan suara, hingga intimidasi secara terstruktur baik yang dilakukan oknum aparat maupun kepala desa.

Kelima, Timnas Anies Rasyid Baswedan -- Muhaimin Iskandar (AMIN) dan TPN Ganjar Pranowo -- Mahfud MD telah menemukan pola dugaan kecurangan yang dibagi dalam 9 kluster. Kedua tim pemenangan sepakat akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Perlu dipahami, melakukan gugatan sengketa hasil pemilu ke MK adalah koridor yang disediakan UU. Oleh karenanya semua pihak hendaknya wajib menghormati jalur yang ditempuh Timnas AMIN dan TPN Ganjar-Mahfud.

Sekali lagi, semua pihak hendaknya menghormati dan mematuhi aturan pemilu, termasuk proses rakapitulasi manual oleh KPU dan penyelenggara di bawahnya.  

Oleh karenanya, pemberian ucapan selamat oleh Presiden kepada pasangan Prabowo-Gibran, yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk pengakuan atas kemenangannya, sementara proses di KPU masih berlangsung, sangat tidak etis.

Dengan telah adanya pengakuan pemenang dari Presiden, bukankah sia-sia jika pun KPU menggelar pemungutan suara susulan dan PSU?

Taat aturan, menjunjung etika dan menjadi bijak adalah pilihan. Tidak semua orang bisa melakukan, termasuk Presiden Jokowi.

Salam @yb

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun