Seperti kita ketahui, dalam beberapa tahun terakhir, ada politisasi hukum yang dimulai dari pelemahan KPK. Mereka yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa, bisa tiba-tiba tersandung masalah hukum.
Bagaimana dengan PAN? Basis pendukung PAN adalah warga Muhammadiyah yang lebih dekat dengan isu-isu yang digaungkan Anies Baswedan. Kondisi serupa terjadi di tubuh Partai Demokrat yang selama hampir 10 tahun beroposisi dan menggaungkan perubahan.
Bukan hanya di kalangan grassroot, konon bahkan banyak pengurus partai yang diam-diam tidak sejalan dengan dengan keputusan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengalihkan dukungan ke Prabowo, dan harus menyeru keberlanjutan kebijakan Jokowi yang sebelumnya ditentang.
Mereka paham, mengkampanyekan Prabowo sama sekali tidak memberi keuntungan elektoral bagi Demokrat. Efek ekor jas (coat-tail effect) hanya dinikmati Gerindra dan PSI yang dinahkodahi adik Gibran, Kaesang Pangarep. Â
Sebagai penguat argumen ini, dapat dilihat dari alat peraga kampanye kader-kader Demokrat yang alergi mencantumkan gambar Prabowo, terlebih Gibran. Bahkan ketika menggelar kampanye akbar pun Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono tidak mengajak pendukungnya memilih Prabowo-Gibran.
Dan yang paling telak, sebagian besar pendukung Prabowo di Pilpres 2019 berubah menjadi antipati. Bergabungnya Prabowo dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) dianggap sebagai bentuk penkhianatan terhadap aspirasi pendukungnya.
Terlebih Prabowo juga gagal menorehkan prestasi selama di kabinet. Food estate yang ditangani gagal total. Dari lima lokasi food estate yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua, tidak ada satu pun yang berhasil.
Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang diklaim Gibran berhasil, kondisinya justru lebih parah. Tidak hanya gagal panen singkong, dan diganti dengan tanaman jagung dalam polybag, proyek food estate Gunung Mas menyebabkan kerusakan lingkungan dan banjir parah di daerah pemukiman sekitar.
Dari sisi pertahanan yang konon menjadi keahlian Prabowo, kita tidak melihat kemajuan berarti. Bahkan terjadi penurunan peringkat Indonesia pada Global Peace Index, dan tidak tercapainya kekuatan pokok minimal (minimum essential force).
Prabowo malah terkesan menjadi beban pemerintah dengan ambisinya memperkuat pertahanan model lawas yang mengandalkan jumlah alat utama sistem senjata (alutsista). Lucunya akan dipenuhi dengan alutsista bekas, bukan memodernisasi, dengan modal utang. Beruntung Menteri Keuangan berani menolak sehingga negara tidak menanggung beban utang yang tidak perlu.
Perolehan suara paslon nomor urut 2 semakin turun manakala Ganjar-Mahfud dapat mempertahankan dominasinya di Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur yang menjadi basis PDIP, sebagaimana Anies yang mampu menggerus suara Prabowo di Jawa Barat.