Artinya, jika saja APBN kita kuat, sudah cukup untuk memenuhi asas keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka boleh-boleh saja membangun ibu kota baru.
Dari pemahaman ini maka Anies tidak anti-IKN sepanjang APBN kita kuat. Sebagai ilustrasi, jika Anies menjadi presiden dan APBN 2025 melonjak menjadi Rp 8.000 triliuan, atau ada pihak swasta yang mau investasi tanpa jaminan APBN, maka kemungkinan Anies tetap melanjutkan pembangunan IKN.
Sikap Anies sebenarnya sama dengan komitmen awal Presiden Jokowi saat mencanangkan IKN. Jokowi pun menyadari keterbatasan APBN. Untuk meyakinkan DPR dan masyarakat, Jokowi tegas mengatakan pembangunan IKN tidak akan menggunakan APBN, melainkan investor asing dan dalam negeri.
Waktu berjalan, Jokowi keliling dunia menawarkan proyek IKN dengan berbagai kemudahan dari mulai pajak hingga konsensi hak guna usaha hingga ratusan tahun. Jokowi juga merekrut mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sebagai Dewan Penasehat IKN.
Nyatanya tidak ada satu pun investor asing yang tertarik. Bahkan Softbank Group dari Jepang buru-buru mundur. Pengusaha Singapura yang dijanjikan kawasan hunian ekslusif, juga tetap enggan mengucurkan modal.
Berbeda dengan klaim Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, selain iklim politik, dugaan lain keengganan investor Eropa, Timur Tengah hingga Amerika dan Asia mengucurkan duit untuk bangun IKN adalah isu lingkungan. Diduga mereka khawatir pembangunan IKN akan mempercepat deforestasi di Kalimantan.
Mimpi terlanjur dibeber, surut berpantang. Bukannya meninjau kembali rencana bangun IKN setelah gagal meyakinkan investor, Jokowi justru menarik komitmen awal. Kini APBN menjadi tumpuan biaya pembangunan IKN!
40 Kota Metropolitan
Oleh karenanya, dengan keterbatasan APBN, Anies dan pasangannya, Muhaimin Iskandar, berkomitmen pada program untuk mengupgrade kota-kota besar agar setara Jakarta. Hal itu lebih memenuhi aspek keadilan dan kesetaraan. Terlebih ke depan, mayoritas penduduk berdiam di wilayah perkotaan.
Dengan tumbuhnya kota-kota besar di berbagai daerah, di mana moda transportasi terintegrasi, lapangan pekerjaan cukup, kemudahan dalam mendapatkan hunian, adanya fasilitas umum dan fasilitas sosial yang baik, maka dengan sendiri beban Jakarta juga dapat dikurangi.
Jakarta tidak lagi menjadi tumpuan seluruh anak negeri karena di masing-masing daerah telah ada kota dengan standar pelayanan dan fasilitas publik setara Jakarta. Konsep ini sejalan dengan upaya menyelesaikan masalah di Jakarta.