Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Partai Buruh "Nabok" Anies Pakai Narasi Demokrat

14 September 2023   08:36 Diperbarui: 17 September 2023   16:07 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Said Iqbal. Foto: Kompas.com

PRESIDEN Partai Buruh Said Iqbal menggunakan narasi Partai Demokrat untuk menyingkirkan Anies Rasyid Baswedan dari bursa calon presiden (capres) yang akan didukung. Mengapa partai yang dalam berbagai survei memiliki elektabilitas nol koma itu tidak menggunakan isu perjuangan kaum buruh yang dibidik sebagai konstituennya?

Said Iqbal mengatakan, disingkirkannya Anies dari bursa capres dari partainya karena, pertama, Sudirman Said pernah "mengobok-obok" KSPI dan SPN. Tidak dijelaskan kapan dan bagaimana Sudirman Said melakukan hal itu, apakah saat menjadi menteri ESDM Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, atau setelah menjadi anggota tim Anies.

Kedua, Iqbal mengatakan (dikutip lengkap dari kompas.com (13/9/2023),, "Partai Buruh menilai bahwa Anies telah ambil bagian dalam pengkhianatan terhadap Partai Demokrat yang semula mendukung pencapresan Anies dan mendadak ditikung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyorongkan nama Muhaimin Iskandar".

Dalam sejarah politik Indonesia kontemporer, mungkin baru kali ini ada partai yang menggunakan narasi partai lain sebagai landasan kebijakan politiknya. Seperti diketahui kader dan pengurus, termasuk Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, secara emosional mengatakan partainya dikhianati setelah Anies memilih Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres).

Padahal untuk mengetahui apakah tudingan yang dilontarkan kader-kader Demokrat benar atau hanya sikap emosional, bisa ditelusuri dengan mudah. Sebab, meski Anies diberi mandat untuk mencari cawapres, setelah dideklarasikan sebagai bakal capres, keputusan akhir tetap ada di tangan penguasa partai Koalisi Perubahan untuk Keadilan (KPP) yakni Demokrat, PKS dan Nasdem.

Silakan lihat wawancara jurnalis Kompas TV Ni Luh Puspa dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di situ dengan gamblang AHY mengatakan, jika Anies memilih cawapres selain dirinya, maka akan dilihat dulu alasan dan dasar pertimbangnnya apakah sesuai dengan arah perjuangan Demokrat atau tidak.

Jadi jelaslah, bahwa keputusan akhir cawapres Anies ada di partai.

Saat opsi cawapres yang tersedia hanya AHY, Anies sudah menerima dan memberitahukan kepada pemegang penentu di tiga partai koalisi yakni Majelis Tinggi Demokrat, Majelis Syuro PKS dan DPP Partai Nasdem.

Hasilnya, Demokrat sangat setuju karena sesuai keinginannya, PKS menyerahkan sepenuhnya kepada Anies. Sedang Nasdem tidak menolak tetapi meminta agar jangan buru-buru diputuskan karena waktu pendaftaran di KPU masih lama, sambil menunggu opsi lain.

Oleh karenanya bila Anies nekad mengikuti kemauan Demokrat, resikonya Nasdem keluar dari koalisi. Padahal Nasdem adalah partai pertama yang mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres.

Situasi ini dimanfaatkan Demokrat untuk mendesak agar Anies segera mengambil keputusan. Bahkan jika Anies tidak mendeklarasikan cawapres tanggal 3 September 2023, Demokrat sudah ancang-ancang akan keluar dari koalisi.

Jika kemudian timbul "perlawanan balik", Anies langsung menerima Cak Imin yang disodorkan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, tentu atas dasar kalkulasi politik yang matang.

Sebab koalisi Nasdem - PKB sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Sementara jika Nasdem keluar dari KPP, kursi PKS dan Demokrat di DPR tidak cukup untuk mengusung capres-cawapres. Jadi ada hitung-hitungan politik, dan itu hal yang lumrah.  

Lagi pula sudah lama Anies menginginkan cawapres yang dapat menutup kelemahan elektabilitasnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Artinya, dipilihnya Cak Imin sebagai bakal cawapres sudah sesuai dengan aspirasi KPP agar dapat memenangkan Pilpres 2024.  

Jika yang dilakukan Anies disebut pengkhianatan, bagaimana dengan Prabowo yang mengubah nama koalisi Gerindra - PKB, setelah bergabungnya Golkar dan PAN, tanpa sepengetahuan Cak Imin? Apakah itu juga bentuk pengkhianatan?

Kita meyakini, Partai Buruh hanya mencari-cari alasan ketika "nabok" Anies menggunakan narasi Demokrat karena sejak awal memang sudah tidak ingin mendukung.

Jauh sebelumnya, tepatnya pada April 2023, Iqbal sudah memberi kode dukungan kepada Ganjar Pranowo. Setelah dihujat netizen yang menuding inkonsisten dengan jargon yang diusung dalam setiap demo, Iqbal meralat dengan mengatakan dukungan akan diberikan melalui konvensi.

Pertanyaannya, apakah Partai Buruh tidak memiliki cita-cita dan agenda politik yang dapat digunakan untuk menimbang dan menilai capres yang akan didukung atau tidak didukung?

Lazimnya, sebuah partai memberikan atau tidak memberikan dukungan pada kandidat dalam kontestasi elektoral, berdasarkan visi-misi, dan garis perjuangan partai, bukan narasi partai lain, terlebih yang belum jelas kebenarannya karena hanya berdasar sumber sekunder.

Dalam demonstrasi yang rajin digelar, Partai Buruh selalu menyeru tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh, serta menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang disebutnya memanjakan oligarki dan mempreteli hak-hak pekerja.

Sementara bakal capres tersisa yang sedang dipertimbangkan oleh Partai Buruh yakni Prabowo Subianto dan Ganjar - karena Iqbal dan Najwa Shihab nyaris sudah pasti tidak akan menjadi capres -- semuanya mengeklaim sebagai penerus Presiden Joko Widodo.

Artinya, kecil kemungkinan bagi Prabowo maupun Ganjar mau merevisi apalagi menghapus Omnibus Law Cipta Kerja jika kelak terpilih menjadi presiden. Bukankah anomali manakala partai yang mengaku mewakili buruh malah mendukung capres pro Omnibus Law Cipta Kerja yang menyengsarakan kaum buruh seperti disampaikan sendiri dalam demo-demo selama ini?

Atau jangan-jangan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja hanya gimmick, atau casing Said Iqbal untuk meraih dukungan kaum buruh, padahal sejatinya pendukung oligarki? Jika benar demikian, apakah itu bukan bentuk pengkhianatan?

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun