Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di tahun 2014 yang sebesar 11,25 persen atau 28,28 juta orang, pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 8 tahun hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 1,68 persen (1,92 juta orang). Â
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama menjabat 10 tahun (2004-2014) berhasil mengentaskan kemiskinan lebih dari 5 persen, tepatnya 10,38 juta jiwa. Pada awal menjabat yakni 2004, angka kemiskinan mencapai 16,66 persen atau 36,1 juta jiwa, dan di akhir masa jabatannya (2014), tinggal 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa.
Masih tersisa satu tahun lebih masa pemerintahan Jokowi. Jika pun ada keajaiban ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat, tanpa bermaksud mendahului, angkanya tidak akan signifikan. Terlebih jika melihat bagaimana semua lini dikerahkan untuk mewujudkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan proyek-proyek mercusuar lainnya seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang semuanya menguras APBN.
Kita tidak menafikan adanya gangguan seperti pandemi yang meghambat program-program pengentasan kemiskinan. Tetapi ingat, di masa SBY pun terjadi krisis ekonomi global (2008) yang sempat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana dengan angka pengangguran? BPS merilis, per Agustus 2014 jumlah pengangguran sebesar 7,24 jiwa. Sementara pada Agustus 2022 jumlah pengangguran sebesar 8,42 juta orang. Artinya selama 8 tahun terakhir terjadi kenaikan jumlah pengangguran.
Dari data-data di atas, bagaimana kita menyebut pemerintahan Jokowi berhasil mengentaskan kemiskinan dan pengangguran? Tidak mengejutkan jika TPPO melonjak.
Mereka yang menjadi korban kemungkinan sudah tahu resikonya ketika menerima iming-iming kerja di luar negeri tanpa prosedur. Bukankah teknologi informasi sudah berada di genggaman tangan dan sampai ke pelosok-pelosok?
Kemungkinan besar, mereka tergiur iming-iming pelaku TPPO karena nalarnya dikalahkan oleh himpitan ekonomi, dan desakan pemenuhan kebutuhan dasar yang harganya terus melonjak mengikuti kemauan pengusaha.
Pemerintah yang diharapkan menjadi regulator justru tidak berdaya di depan pengusaha seperti dalam kasus minyak goreng.
Terlebih lagi tidak ada harapan untuk mencari pekerjaan di dalam negeri. Riuhnya proyek-proyek mercusuar ternyata lebih memanjakan pekerja asing. Dengan dalih tenaga kerja kita belum mampu, pemerintah dengan bangga menyerahkan pekerjaan pasang baut, gali parit dan welder kepada tenaga kerja asing.
Sambil mengapresiasi kinerja Satgas TPPO, kita berharap penindakan bukan hanya di hilir, tetapi juga membenahi akar masalahnya. Tanpa hal itu, maka tugas Satgas TPPO akan semakin berat. Bukan mustahil, angka TPPO akan melonjak dalam beberapa tahun mendatang ketika APBN terus dijadikan sapi perah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar dan bayar utang pemerintah.