Kebijakan Presiden Joko Widodo membuka kembali kran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, bukan hanya soal potensi terjadinya kerusakan lingkungan. Lebih ekstrem lagi, ekspor pasir juga mengancam keutuhan wilayah NKRI.
Seperti diketahui, Singapura sangat berkepentingan dengan pasir laut dari Indonesia untuk reklamasi atau menambah luas daratannya.
Meski dapat mengimpor dari negara lain, tetapi dari segi ekonomi dan kuantitas, impor pasir dari Indonesia jelas lebih menguntungkan; low budget karena jaraknya hanya "selemparan batu", dan potensinya sangat melimpah. Tinggal pilih dari Kepulauan Riau atau Bangka Belitung.
Sebaliknya, ekspor pasir laut merugikan Indonesia. Tidak perlu penelitian njlimet untuk mengetahui kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.Â
Mirisnya lagi, secara ekonomi. penerimaan negara juga sangat kecil sebagaimana dikatakan Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu.
Lalu apa urgensi Presiden Joko Widodo menerbitkan PP Nomor 26/2023 di mana dalam Pasal 9 (d) dilegalkan ekspor hasil sedimentasi (baca: pasir)?Â
Padahal sebelumnya ekspor pasir laut telah dilarang karena merusak lingkungan, merugikan nelayan dan membahayakan negara.
Benarkah sebagai imbal balik kesediaan Singapura menyerahkan (sebagian) pengelolaan ruang udara (Flight Information Region) di atas Kepulauan Riau dan Natuna yang disepakati dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Januari 2022 lalu?
Ataukah sebagai "hadiah" atas kesediaan Singapura menanamkan investasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara? Seperti kita diketahui, sejak mundurnya Softbank (Jepang) selaku investor utama IKN, pemerintah "kelabakan" mencari investor.Â
Bahkan setelah berbagai diskon dan kemudahan diberikan, termasuk izin pakai lahan hingga 160 tahun yang dinilai sebagian kalangan menyalahi UU Agraria, belum ada investor kakap yang melakukan groundbreaking.
Bukan kebetulan pemberian izin ekspor pasir laut dikeluarkan sebelum kepergian Jokowi ke Singapura untuk menawarkan paket  investasi dengan segala macam kemudahannya seperti insentif fiskal, tax holiday, super deduction tax hingga tarif bea impor rendah.
Terlepas kemungkinan adanya motivasi di atas, satu hal yang sudah pasti, ekspor pasir laut ke Singapura berpotensi mengurangi luas wilayah Indoinesia, terutama selat Malaka yang sangat strategis karena menjadi jalur pelayaran internasional. Â
Mari kita lihat fakta-fakta berikut.
Sejak tahun 1962, Singapura yang oleh mantan Presiden BJ Habibie pernah diilustrasikan sebagai red dot ketika membandingkan luasnya dengan Indoensia, melakukan reklamasi untuk menambah luas daratan.Â
Sampai saat ini, daratan Singapura yang menjorok ke laut sudah bertambah 12 kilometer. Jika dihitung secara keseluruhan, sejak merdeka hingga tahun 2000, luas Singapura sudah bertambah sekitar 200 km2, dari awalnya 581 km2 menjadi 766 km2. Â
Mirisnya, Indonesia dan Singapura belum memiliki perjanjian batas laut. Sangat mungkin hal ini terkait dengan ambisi Singapura untuk terus menambah luas teritorialnya, dan pada saat bersamaan berpotensi mengurangi luas wilayah Indonesia, terlebih jika garis pantai Indonesia juga berkurang sebagai dampak pemanasan global.
Benar, ketentuan Zona Ekomoni Ekslusif (ZEE) yakni luas zona laut 12 mil dari garis pantai, tidak berlaku mengingat lebar Selat Malaka atau Selat Singapura kurang dari 24 mil sehingga akan tumpang tindih.
Selain itu, kedua negara juga sudah menyepakati garis tengah pantai yang berlaku tetap sebagaimana ketentuan Pasal 15 Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.
Persoalannya, perjanjian garis tengah yang efektif berlaku sejak 2005, tidak mencakup bagian barat dan timur. Perjanjian ini juga perlu ditindaklanjuti karena masih merupakan basic. Perlu ada perjanjian lanjutan terkait batas laut yang lebih komprehensif dan pemanen.
Sayangnya Singapura terus menolak ajakan Indonesia untuk segera menetapkan batas laut secara permanen. Berbagai upaya yang dilakukan Indonesia selaku kandas.Â
Kita meyakini hal itu terkait ambisi Singapura menambah luas datarannya, yang secara otomatis memajukan garis pantainya.
Kita menengarai, pasir laut yang diimpor dari Indonesia digunakan untuk mereklamasi daratan Singapura. Persoalan ini pernah dibahas secara luas di awal tahun 2000 hingga melahirkan larangan ekspor pasir laut di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Oleh karenanya, kita patut mencurigai ada motif lain, di luar kepentingan ekonomi Indonesia, karena pada bersamaan sangat menguntungkan Singapura.Â
Jika benar keluarnya PP yang mengizinkan ekspor pasir laut satu paket dengan upaya menarik investor Singapura ke IKN Nusantara, tentu bukan kebijakan yang cerdas.
Terlebih jika kebijakan itu keluar akibat tekanan segelintir pengusaha pasir laut yang sedang membutuhkan dana untuk kepentingan politiknya.Â
Sungguh sangat disesalkan. Kita sudah memahami bagaimana tidak berdayanya pemerintah di depan pengusaha, bahkan seperti mendewakan.Â
Saat ini pengusaha dengan bebas menentukan harga kebutuhan dasar masyarakat, seperti dalam kasus minyak goreng,tanpa mau lagi mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah benar-benar telah kehilangan wibawanya di depan pengusaha. Â
Dengan kondisi demikian, bukankah sangat naif ketika kita mendukung ekspor pasir laut untuk perluasan wilayah Singapura yang merugikan Indonesia? Â
Bukankah kedaulatan negara adalah (katanya) harga mati seperti slogan-slogan yang terpampang di ruang-ruang publik dan digelorakan oleh sekelompok masyarakat yang mengaku diri paling nasionalis? Ataukah itu hanya ada di poster dan mulut para pembohong?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H