Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Proporsional Tertutup, Mulan Jameela, dan Kembalinya Wacana Penundaan Pemilu

30 Mei 2023   19:11 Diperbarui: 5 Juni 2023   07:00 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi. Foto: Antara melalui kompas.com

Penerapan sistem proporsional terbuka yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD melalui Pemlihan Umum (Pemilu) adalah bagian dari amanat reformasi, sebuah antitesa dari sistem yang digunakan Orde Baru yakni proporsional tertutup. Oleh karenanya, kita menentang jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka.  

Secara garis besar proporsional terbuka memungkinkan pemilih bisa mencoblos calon anggota legislatif (caleg) yang akan menjadi wakilnya di DPR/DPRD. Caleg dengan perolehan suara terbanyak, dan memenuhi bilangan pembagi pemilihan (BPP) yang berlaku di suatu daerah pemilihan (dapil), maka caleg bersangkutan otomatis berhak mendapatkan kursi legisltaif. Manakala perolehan suaranya tidak memenuhi BPP, namun total perolehan suara partainya memenuhi BPP, kursi yang didapat tetap menjadi hak peraih suara terbanyak.  

Dalam sistem proporsional tertutup, hal itu menjadi kewenangan partai yang mencalonkan, dan biasanya berdasar nomor urut. Jika dalam suatu daerah pemilihan (dapil) partai mendapat 1 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1 yang akan menjadi anggota legislatif. Jika mendapatkan 3 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1, 2 dan 3 yang berhak mendapatkan kursi. Dalam proporsional tertutup, kewenangan partai sangat besar karena menentukan nomor urut caleg.

Apakah sistem proporsional terbuka sudah sempurna? Ternyata belum, jika mendasarkan pada kasus terpilihnya Mulan Jameela. Saat itu R Wulansari, nama asli Mulan Jameela, merupakan peraih suara terbanyak kelima, sementara Partai Gerindra di Dapil Jawa Barat X mendapat 3 kursi DPR RI.

Dua kursi direbut oleh 2 caleg dengan perolehan suara teratas. Mestinya kursi ketiga, menjadi milik peraih suara terbanyak ketiga. Namun Mulan Jameela meminta agar penentuan kursi ketiga diputuskan oleh pimpinan partai. Hal ini dikarenakan peraih suara terbanyak ketiga dan keempat tidak mencapai BPP.

Artinya, kursi ketiga didapat berdasar gabungan seluruh suara, minus suara milik caleg peraihan suara terbanyak pertama dan kedua. Oleh karenanya, menurut Mulan dalam gugatannya, untuk menentukan siapa yang berhak atas kursi ketiga menjadi kewenangan partai.

Namun demikian sistem berbasis suara terbanyak tetap masih lebih baik daripada proporsional tertutup. Berikut alasannya:

Pertama, partai politik (parpol) telah diberi kewenangan besar dalam menentukan caleg yang akan diusung. Kewenangan ini mutlak karena bahkan UU Nomor 7 Tahun 2917 tidak mengatur tata cara penjaringan caleg oleh partai, termasuk dalam hal menentukan nomor urutnya.

Dengan kewenangan itu, logikanya, ketika partai menunjuk atau memutuskan seseorang menjadi caleg, otomatis telah teruji kemampuan dan loyalitasnya kepada partai. Sehingga tidak menjadi persoalan manakala yang terpilih nomor urut 1 atau 3.

Kedua, saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dan seluruh bakal caleg telah mengetahui bahwa sistem yang digunakan adalah proporsional terbuka. Jika di tengah tahapan muncul norma baru, yang sangat bertolak belakang, tentu akan mengacaukan seluruh proses yang telah berjalan. Bukan hanya terkait 2 pasal yang dipersoalkan, tetapi juga pasal-pasal lain yang saling berkait seperti anggaran pencetakan kertas suara yang tentu harus diubah dan dibahas dari awal lagi.

Seperti  kita ketahui, dalam sistem proporsional terbuka, kertas suara memuat foto para caleg. Sedanag pada proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos lambang partai.  

Ketiga, sistem proporsional terbuka adalah antitesa dari sistem proporsional tertutup yang dilanggengkan oleh rezim Orde Baru. Jika MK mengembalikan ke sistem proporsional tertutup, maka sejatinya MK tengah memundurkan gerbong reformasi hingga kembali ke zaman pra demokrasi.

Keempat, sistem yang digunakan dalam Pemilu merupakan kewenangan pembuat undang-undang (open legal policy), sehingga MK hanya sebatas meninjau apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. MK tidak bisa memaksakan suatu sistem sistem Pemilu karena memang tidak dinyatakan dalam UUD 1945.  

Hal ini sama dengan ketika MK menolak judicial review ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil Pemilu 2019, di mana MK menyebut hal itu sebagai open legal policy.

Kelima, terjadinya gesekan antar caleg dari satu partai di satu dapil adalah bagian dari dinamika demokrasi. Rakyat justru diuntungkan jika antar caleg saling membuka kelebihan dan kekurangannya sehingga dapat mengikis potensi terpilihnya caleg yang tidak diketahui rekam jejaknya.

Untuk meminimalisir terjadinya hal semacam ini, partai politik cukup melakukan seleksi kader-kader yang ingin nyaleg secara lebih ketat sehingga menutup peluang terjadinya gesekan. Perlu juga ditanamkan pemahaman bahwa kemenangan partai lebih utama sehingga tidak peduli siapa yang terpilih. Jika partai belum mampu melakukan hal itu, jangan lantas mengubah sistemnya.  

Keenam, perubahan sistem dari proporsional terbuka menjadi tertutup berpotensi menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Sebab partai harus mengubah nomor urut caleg, disesuikan dengan kepentingannya. Jika sebelumnya caleg tidak peduli ditempatkan pada nomor urut berapa, dengan sistem tertutup maka nomor urut menjadi harga mati mengingat dalam satu dapil, partai-partai besar pun maksimal hanya bisa mendapat 2-3 kursi.

Dengan demikian caleg dengan nomor urut 4-7 dapat diipastikan hanya menjadi penggembira. Oleh karenanya, jika dipaksakan menggunakan sitem tertutup, kemungkinan besar caleg-caleg yang ditempatkan pada nomor "sepatu" akan mundur dan digantikan oleh kader-kader yang hanya difungsikan untuk memenuhi kuota.

Di luar hal itu, jika MK tetap memutus sistem tertutup, kita bisa merasakan adanya nuansa lain, bukan sebatas penilaian hakim MK, karena akan membuka kembali wacana penundaan Pemilu 2024. Seperti kita ketahui, sebelumnya sempat berhembus wacana penundaan Pemilu hingga perpanjangan masa  jabatan Presiden, dengan berbagai dalih.

Wacana itu akhirnya menguap setelah mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, termasuk partai-partai pendukung pemerintah. Mungkinkah keinginan itu kemudian diselundupkan melalui putusan MK?

Semua serba mungkin, terlebih setelah MK sukses membuat "kekacauan" melalui putusan perpanjangan masa tugas komisioner KPK dari 4 menjadi 5 tahun. Bahkan MK "nekad" menabrak norma di mana putusannya berlaku surut (retroaktif) sehingga Firli Bahuri Cs yang notabene disumpah untuk masa jabatan selama 4 tahun kini dapat menikmati "bonus" satu tahun.

Kita sepakat, undang-undang, juga aturan tertulis lainnya, bukan teks kitab suci sehingga tidak haram untuk diubah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir kita melihat, undang-undang, dan aturan turunannya, dibuat bukan lagi sebagai batasan dan rule of the game yang berlaku sama bagi seluruh warga bangsa. Kita melihat dan merasakan, banyak undang-undang yang diterbitkan hanya untuk memenuhi keinginan satu-dua kelompok, bahkan orang per orang.

Dan penyebabnya adalah MK yang mestinya menjadi penjaga konstitusi, justru kita tengarai ikut "menendang bola". MK belum menjadi lembaga yang sesuai dengan semangat pembentukannya. Terkuaknya praktek jual beli putusan yang terjadi pada era Akil Mochtar, dan juga Patrialis Akbar, menjadi catatan yang tidak mudah hilang dari ingatan publik.

Demikian juga pengubahan substansi putusan MK dalam perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang Uji Materi UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang MK. Dalam kasus ini semua hakim MK bahkan sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya, namun Presiden Jokowi tidak mengizinkan hakim MK diperiksa polisi.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun