Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika KPU Keliru Menafsirkan UU Pemilu

10 Mei 2023   11:00 Diperbarui: 10 Mei 2023   11:59 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketentuan keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik, bukan hadiah tiba-tiba.  Sulit memahami ketika KPU mengeluarkan kebijakan yang justru berpotensi mengurangi jumlah keterwakilan perempuan. Salah baca undang-undang, atau ada hidden agenda?

Sulit memahami munculnya Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur pembulatan ke bawah manakala perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.

Mengutip kompas.com,  pada daerah pemilihan (dapil) dengan 8 caleg, di mana 30 persennya adalah 2,4 maka berdasar peratuan KPU, caleg perempuan di dapil tersebut cukup 2 orang sehingga menjadi setara 25 persen.

Ada dua persoalan krusial yang dilupakan KPU.

Pertama, Pasal 65 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pasal ini tegas menyebut keterwakilan perempuan “sekurang-kurangannya 30 persen”. Artinya ketentuan 30 persen menjadi basis terendah. Dengan demikian masih memungkinkan di atas 30 persen, namun tidak diperbolehkan di bawah 30 persen.

Dalam undang-undang terbaru, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, semangat untuk mengakomodir 30 persen keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga politik  juga masih sama yakni diatur pada Pasal 245.  

Kedua, Pasal 55 Ayat (2) UU Nomor 2008 yang memperkuat aspek afirmasi keterwakilan perempuan dalam daftar caleg yang diajukan parpol di mana diberlakukan zipper system. Poin utama dari ketentuan ini adalah keharusan adanya sekurang-kurangnya 1 caleg perempuan  dari 3 caleg yang diajukan parpol.

Berdasar zipper system, nomor urut  caleg perempuan tersebut harus berada di urutan 1-3. Misal ada parpol yang mengajukan 6 caleg di mana 4 caleg laki-laki, dan 2 caleg perempuan. Maka salah satu caleg perempuan harus ditempatkan pada nomor urutan 1, 2, atau 3.

Terlebih, meski telah secara ketat diberlakukan ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar caleg, faktanya, sampai saat ini jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR dalam satu periode, belum pernah mencapai 30 persen.

Menurut riset Puskapol UI, anggota DPR perempuan hasil Pemilu 2004 hanya berjumlah 11,8 persen, Pemilu 2009 (18 persen), Pemilu 2014 (17 persen), dan Pemilu 2019 (20 persen). Hasil ini berbanding terbalik dengan prosentase keterwakilan perempuan dalam daftar caleg yang diajukan parpol di mana pada Pemilu 2004 mencapai 29 persen, Pemilu 2009 (33,5 persen), Pemilu 2014 (37,6 persen) dan Pemilu 2019 menjadi yang tertinggi yakni mencapai 40 persen.

Padahal, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati jumlah pemilih perempuan sejak 2004, berada di kisaran 49 persen. Artinya jumlah pemilih perempuan yang memilih caleg perempuan belum signifikan.

Kita berharap dalam membuat aturan, KPU tunduk pada UU yang lebih tinggi, tidak berdasar selera atau apalagi akibat ketidakpahaman undang-undang.  KPU harus bisa memastikan keberlangsungan  tahapan Pemilu 2024 tidak direcoki dengan hal-hal yang kontraproduktif.

Jangan sampai KPU sebagai penyelenggara Pemilu, menafsirkan sendiri aturan main. Bukan hanya tidak elok, tetapi akan dapat ditafsirkan sebagai bentuk keberpihakan yang memberi keuntungan pada salah satu peserta kontestasi elektoral.

KPU harus belajar pada proses verifikasi parpol yang terus bermasalah hingga kini. Jangan sampai KPU kehilangan legitimasi, setidaknya kehilangan kepercayaan dari publik, sehingga produk yang dihasilkan tidak legitimate.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun