Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Syarat Staycation dan Aturan Pekerja Kontrak dalam Omnibus Law Cipta Kerja

7 Mei 2023   13:16 Diperbarui: 9 Mei 2023   15:32 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buruh perempuan. Foto: Antara melalui Kompas.com

Geger ajakan staycation (terjemahan bebas: tidur di hotel) oleh bos perusahaan sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja bagi pekerja perempuan di Cikarang, Kabupaten Bekasi, bukan hanya menampar sisi kemanusiaan kita, melainkan juga membuka borok aturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak melindungi buruh.

Setelah perusahaan dibebaskan menggunakan tenaga kerja kontrak tanpa batas, maka dipastikan kasus-kasus semacam itu - dengan segala variannya - akan terus bermunculan.

Undang-Undang Cipta Kerja yang semangat awalnya untuk mempermudah dan memperpendek sistem perizinan dunia usaha, nyatanya digunakan sebagai alat untuk mempreteli hak pekerja sehingga tidak memiliki posisi tawar dengan pemilik modal yang telah dimanjakan dengan berbagai aturan.

Dari sekian banyak aturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan pekerja, salah satunya adalah hilangnya kewajiban perusahaan mengangkat pekerjanya sebagai karyawan tetap. Perusahaan diperbolehkan mengikat buruh melalui kontrak berdurasi pendek (setahun) sehingga buruh yang tidak mau menerima aturan-aturan yang merugikan haknya, bisa dipastikan akan kehilangan kontrak di tahun berikutnya.

Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 dan telah disahkan DPR pada 21 Maret 2023, sejumlah pasal yang memperkuat posisi pekerja dalam UU sebelumnya, dihapus.

Pasal yang dihapus adalah Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Padahal pasal ini memberi jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh yang sedang terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebab pasal ini mengharuskan perusahaan mengangkat pekerja yang telah bekerja selama maksimal 2 tahun. Jika belum maka perusahaan hanya bisa memperpanjang kontrak 1 tahun.

Dengan dihapusnya pasal tersebut dari Omnibus Law Cipta Kerja, maka perusahaan tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengangkat pekerja kontrak menjadi karyawan tetap. Perusahaan bisa memberlakukan kontrak kerja seumur hidup sehingga buruh tidak memiliki kepastian apakah tahun depan masih akan bekerja atau tidak.

Sistem ini memaksa buruh bekerja layaknya hamba sahaya yang tidak berani menyuarakan hak-haknya karena dibayang-bayangi kontrakan kerjanya tidak akan diperpanjang. Buruh, sekalipun telah memberikan keuntungan luar biasa bagi pemilik modal, tetap dalam posisi inferior.

Konsekuensi lain dari sistem pekerja kontrak semacam itu adalah hilangnya kesempatan buruh menikmati kenaikan upah secara berkala karena setiap tahun statusnya tetap sebagai karyawan baru. Demikian juga tunjangan lain yang didasarkan pada masa kerja seperti tunjangan hari raya (THR).

Parahnya lagi, jika dalam UU sebelumnya, pekerja kontrak hanya untuk jenis pekerjaan musiman, dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja maka semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan inti, dapat diberikan kepada tenaga kerja kontrak.  

Posisi lemah ini, terutama bagi buruh perempuan, yang kemudian dimanfaatkan oleh manajer mesum untuk mencicipi tubuh pekerja perempuan secara cuma-cuma karena menjadi syarat perpanjangan kontrak kerja.

Sebenarnya kondisi ini sudah lama disuarakan dan menjadi salah satu materi judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menyebut Omnibus Law Cipta Kerja berstatus inkonstituional bersyarat.

Pembuat UU, yakni pemerintah bersama DPR, diwajibkan untuk melakukan perbaikan. Jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan perbaikan, maka statusnya menjadi inkonstitusional alias tidak berlaku.

Alih-alih memperbaikinya bersama DPR, Presiden Jokowi lebih memilih menerbitkan Perppu dengan alasan perang di Ukraina, yang kemudian dalam waktu sesingkat-singkatnya disahkan oleh DPR. Berbagai organisasi buruh sempat melakukan gimmick politik dengan pura-pura menggeruduk ke Istana dan DPR sebelum kemudian melupakan karena ada mainan lain yang lebih menarik.

Alhasil, Omnibus Law Cipta Kerja tetap sah dan berlaku bagi seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Maka jangan heran jika ke depan, makin banyak buruh perempuan yang menjadi korban praktek staycation dengan bos pabrik sebagai syarat perpanjangan kontrak tahunan.

Jika melihat kasus-kasus lain dalam beberapa tahun terakhir, maka nantinya akan muncul narasi yang menyalahkan buruh perempuan yang menolak ajakan ngamar bos pabrik. Bahkan mungkin praktek ini akan dihalalkan melalui undang-undang lainnya.  

Kepada para buruh perempuan di mana pun berada, saatnya mengatakan tidak terhadap praktek-praktek mesum yang mengekploitasi tubuhmu. Jangan dengarkan orang-orang yang selama ini rajin mengatasnamakan buruh tetapi asik masyuk dengan pemilik modal dan penguasa.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun