Geger ajakan staycation (terjemahan bebas: tidur di hotel) oleh bos perusahaan sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja bagi pekerja perempuan di Cikarang, Kabupaten Bekasi, bukan hanya menampar sisi kemanusiaan kita, melainkan juga membuka borok aturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak melindungi buruh.
Setelah perusahaan dibebaskan menggunakan tenaga kerja kontrak tanpa batas, maka dipastikan kasus-kasus semacam itu - dengan segala variannya - akan terus bermunculan.
Undang-Undang Cipta Kerja yang semangat awalnya untuk mempermudah dan memperpendek sistem perizinan dunia usaha, nyatanya digunakan sebagai alat untuk mempreteli hak pekerja sehingga tidak memiliki posisi tawar dengan pemilik modal yang telah dimanjakan dengan berbagai aturan.
Dari sekian banyak aturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan pekerja, salah satunya adalah hilangnya kewajiban perusahaan mengangkat pekerjanya sebagai karyawan tetap. Perusahaan diperbolehkan mengikat buruh melalui kontrak berdurasi pendek (setahun) sehingga buruh yang tidak mau menerima aturan-aturan yang merugikan haknya, bisa dipastikan akan kehilangan kontrak di tahun berikutnya.
Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 dan telah disahkan DPR pada 21 Maret 2023, sejumlah pasal yang memperkuat posisi pekerja dalam UU sebelumnya, dihapus.
Pasal yang dihapus adalah Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Padahal pasal ini memberi jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh yang sedang terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebab pasal ini mengharuskan perusahaan mengangkat pekerja yang telah bekerja selama maksimal 2 tahun. Jika belum maka perusahaan hanya bisa memperpanjang kontrak 1 tahun.
Dengan dihapusnya pasal tersebut dari Omnibus Law Cipta Kerja, maka perusahaan tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengangkat pekerja kontrak menjadi karyawan tetap. Perusahaan bisa memberlakukan kontrak kerja seumur hidup sehingga buruh tidak memiliki kepastian apakah tahun depan masih akan bekerja atau tidak.
Sistem ini memaksa buruh bekerja layaknya hamba sahaya yang tidak berani menyuarakan hak-haknya karena dibayang-bayangi kontrakan kerjanya tidak akan diperpanjang. Buruh, sekalipun telah memberikan keuntungan luar biasa bagi pemilik modal, tetap dalam posisi inferior.
Konsekuensi lain dari sistem pekerja kontrak semacam itu adalah hilangnya kesempatan buruh menikmati kenaikan upah secara berkala karena setiap tahun statusnya tetap sebagai karyawan baru. Demikian juga tunjangan lain yang didasarkan pada masa kerja seperti tunjangan hari raya (THR).
Parahnya lagi, jika dalam UU sebelumnya, pekerja kontrak hanya untuk jenis pekerjaan musiman, dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja maka semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan inti, dapat diberikan kepada tenaga kerja kontrak. Â