Jika tidak ada tsunami politik, Pemilihan Presiden 2024 mendatang akan menghadirkan sedikitnya tiga pasangan calon. Dengan asumsi nama-nama yang telah beredar diusung oleh partai atau gabungan partai politik, sulit dihindarkan terjadinya pertarungan antara pemilih rasional versus pemilih fanatik.
Pemilih rasional adalah mereka yang menggunakan rekam jejak (track record), prestasi serta program yang ditawarkan calon sebagai sandaran dalam menentukan pilihan. Sebaliknya pemilih fanatik hanya melihat figur, kesamaan identitas dan emosional.
Bila dipersempit, pemilih rasional cenderung pintar serta memiliki wawasan luas yang digunakan untuk menilai rekam jejak calon dalam sebuah kontestasi elektoral. Mereka mudah mengubah pilihan manakala ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan penilaian awal.
Sedang pemilih fanatik umumnya mudah hanyut oleh hal-hal yang dilihat secara kasat mata. Oleh karenanya pemilih fanatik mudah dibohongi dengan pencitraan, bualan politik (misal, hasil survei abal-abal), gimmick dan drama murahan ala slapstick.
Pemilih fanatik tidak memerdulikan hal-hal di luar yang ada dalam pikirannya. Andai menemukan atau mengetahui calon yang dipilih ternyata memiliki cacat kepemimpinan, atau bahkan pernah mengeluarkan kebijakan yang merugikan dirinya, mereka akan menyalahkan pihak lain sebagai penyebab terjadinya hal itu.
Meski belum bisa dipetakan secara konkret, banyak pihak meyakini jumlah pemilih fanatik di Indonesia masih sangat besar. Meski demikian ada kecenderungan jumlah pemilih rasional semakin meningkat setelah hampir 20 tahun Indonesia menganut pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung.
Di antara pemilih rasional dan fanatik, terdapat pemilih pragmatis. Untuk memudahkan, pemilih pragmatis adalah mereka yang memilih berdasarkan kepentingan pribadi, kedekatan hubungan (kekerabatan), imbalan tunai (money politic) dan kondisi yang dihadapi saat itu.
Dari gambaran di atas, pemimpin yang dimenangkan oleh pemilih rasional dan pemilih fanatik memiliki karakteristik yang berbeda, meski tidak menafikan adanya pengecualian karena kondisi yang tidak lazim (anomali).
Pemimpin yang didukung oleh pemilih rasional cenderung tidak arogan, matang dalam bertindak, taat aturan dan bijak dalam mengambil keputusan sehingga tidak mudah mengubahnya hanya karena ada tekanan eksternal (misal, demo) atau dari pembisik di lingkar dalam kekuasaan (inner circle).
Hal yang berbeda 180 derajat dengan pemimpin yang dimenangkan oleh pemilih fanatik. Pemimpin model ini cenderung menganggap dirinya sebagai pusat kekuasaan sehingga semua hal, termasuk aturan, harus menyesuaikan dengan keinginannya. Manakala keinginannya bertentangan dengan undang-undang, maka undang-undangnya yang diganti.