Keburukan lainnya adalah tidak memiliki pendirian yang tegas dan kuat karena keputusan diambil tidak dengan pemikiran dan pembahasan matang. Akibatnya, banyak aturan yang baru diterbit dicabut atau direvisi karena ternyata tidak sesuai kondisi di lapangan atau tidak menguntungkan pihak-pihak yang selama ini mengelu-elukan.
Mudah bangga saat dipuji dan langsung marah pada yang menunjukkan kekurangannya. Hal ini beranjak dari sikap yang menganggap dirinya sempurna. Â
Pemimpin model ini juga tidak malu-malu membuat drama. Untuk menutupi ketidakmampuannya, dia akan menciptakan drama dirinya diserang (playing victim), sehingga mendatangkan simpati luar biasa dari pendukungnya yang irrasional. Seperti psikopat yang senang melihat korbannya merintih kesakitan, pemimpin model ini juga merasa terpuaskan batinnya manaka bertindak sebagai juru damai atas kekacauan yang diciptakan sendiri.
Ada banyak model pemimpin seperti itu di dunia. Semoga tidak ada di Indonesia sebab tidak sesuai falsafah Pancasila. Â
Kembali ke pemilih rasional versus fanatik.
Pemilih rasional jelas kaum terdidik, memiliki wawasan luas, serta mampu berinteraksi dengan berbagai golongan. Mereka biasa berdebat dan beradu argumen dengan bahasa yang baik disertai data dan fakta, tidak mudah percaya dengan informasi yang belum terverifikasi.
Pemilih rasional cenderung menjadi golongan putih (golput) alias tidak memberikan suara manakala tidak ada calon yang sesuai ekspektasinya.
Pemilih fanatik tidak memiliki cukup ruang untuk diskusi dan malas mencari kebenaran. Mereka akan langsung melahap semua informasi tanpa disaring, terutama jika sesuai dengan keinginannya. Akibatnya mudah sekali menebar hoaks dan fitnah. Kelompok ini sering menjadi sasaran buzzer dan politisi amatiran yang tidak memiliki tanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkan dari sebaran hoaks dan fitnahnya. Â
Di tengah masyarakat yang sudah maju dan rasional, penebar hoaks disetarakan dengan penjahat. Sebaliknya di tengah masyarakat yang masih fanatik, meski berulangkali terbukti menyebar hoaks dan fitnah, tetap saja dipercaya dan dielu-elukan tanpa rasa malu. Terlebih jika kakinya sedang berada di sisi penguasa.
Menjadi pemilih rasional dalam konstestasi demokrasi adalah pilihan. Tidak semua orang bisa karena membutuhkan keberanian untuk melawan kebodohan dan menyingkirkan kedengkian dari hatinya. Tapi ingat satu hal, tanpa pemilih rasional, sulit diperoleh pemimpin yang mumpuni dan mendekatkan kita pada cita-cita kemerdekaan yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Salam @yb