Presiden Joko Widodo telah mengumumkan secara resmi 12 peristiwa di masa lalu yang dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Setelah diakui, kasus-kasus tersebut tidak akan dibawa ke pengadilan, melainkan diselesaikan secara non-yudisial, termasuk di dalamnya memberikan kompensasi kepada korbannya.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi.
Setelah adanya pengakuan dari negara, maka sudah ada legitimasi bagi korban pelanggaran HAM berat untuk menuntut negara atas kelalaiannya dalam memberikan perlindungan kepada warga negara. Dari sini, maka penyelesaian non-yudisial yang ditawarkan pemerintah akan mendapat ujian berat.
Bisa saja, korban pelanggaran HAM berat menolak proses non-yudisial dan pemberian kompensasi. Meski dalam beberapa kasus para pelakunya pernah diadili, dengan adanya pengakuan negara maka para korban atau ahli warisnya seperti diberi  "novum" untuk mengajukan kembali kasus ini baik kepada peradilan Indonesia maupun peradilan internasional. Â
Ingat, kejahatan kemanusiaan, terlebih yang dikategorikan pelanggaran HAM berat, tidak mengenal kedaluwarsa (expired) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomo 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM berat juga tidak mengenal tempat kejadian (locus delicti). Dengan demikian bisa diselidiki, disidik dan diadili di mana saja, termasuk oleh pengadilan HAM internasional.
Kemungkinan ini sangat terbuka karena beberapa kasus yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Presiden, masih menjadi perdebatan dan korbannya masih banyak yang hidup.
Sebelum masuk ke pokok bahasan, ada baiknya kita ketahui dulu 12 peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut yakni Pembunuhan Massal 1965, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I & II 1998, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Wasior Papua 2001, Wamena Papua 2003, serta Jambo Keupok Aceh 2003. Â
Kita ambil contoh Pembunuhan Massal 1965. Tidak ada data yang disetujui semua pihak terkait jumlah korban. Komnas HAM hanya menyebut 32.774 orang hilang, dan ditemukannya beberapa kuburan massal. Padahal lembaga-lembaga lain memiliki angka antara 1,5 -- 3 juta orang. Lalu data mana yang akan dipakai pemerintah terkait pemberian kompensasi? Â
Dengan menempatkan orang-orang yang mengalami penyiksaan dan penghilangan nyawa sebagai korban, tentu akan memicu perdebatan luas karena mereka umumnya orang-orang yang dikelompokkan sebagai anggota PKI.
Ada sebagian masyarakat yang masih beranggapan, peristiwa 1965 tidak berdiri sendiri, melainkan ada pemicu pendahulu, di mana sebagian yang menjadi korban tahun 1965 diyakini sebelumnya juga telah melakukan kekerasan dan teror kepada masyarakat. Peristiwa pembantai kyai-kyai Nahdlatul Ulama (NU) oleh anggota PKI sebelum 1965, adalah salah satu contohnya.