Oleh karenanya sudah saatnya kita berani menafikan konsep Notonegoro. Hal ini sejalan dengan keinginan kita di mana demokrasi dibangun dengan menghilangkan sekat-sekat keagamaan, primordialisme dan identitas pribadi lainnya.
Terlebih jika hal itu dimaksudkan sekedar untuk memberikan legitimasi sekaligus meng-endorse tokoh tertentu. Terlalu naif jika di satu masa menolak politik identitas, di masa lainnya justru menjadi juru kampanyenya.
Pernyataan Luhut, juga Erick Thohir, justru semakin menguatkan dugaan bahwa larang politik identitas yang sering diseru Istana dan kelompoknya, sebatas larangan menggunakan identitas keagamaan (Islam) karena berpotensi menumbangkan jagoan mereka seperti dikatakan Ade Armando.
Penutup
Selain identitas personal, dalam memilih pemimpin hendaknya juga tidak hanya melihat casing-nya. Sandaran utama adalah track record yang baik dan prestasi kerja sehingga kita tidak lagi "membeli kucing dalam karung".
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak sibuk dengan citra diri, yang menggunakan pembelahan masyarakat sebagai fondasi mengikat loyalitas simpatisan, dan mengadu-domba rakyat melalui buzzer. Politik agigatif yang marak tahun 1950-an, harus ditinggalkan karena terbukti merusak sendi-sendi berbangsa dengan munculnya separatisme di berbagai daerah.
Keragaman Indonesia harus terus dikelola dengan sebaik-baiknya oleh pemimpin yang memiliki wawasan luas dan bekal yang baik. Terlebih tantangan Indonesia ke depan sungguh sangat berat. Di samping utang yang sangat besar, sumber daya alam juga semakin sedikit karena sudah dikeruk secara jor-joran, dan hasilnya masuk ke kantong-kantong pribadi. Dampaknya, rakyat yang dipaksa menanggung beban negara melalui penghapusan subsidi dan kenaikan pajak.
Ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok dan terkotak-kotaknya masyarakat dalam dukung-mendukung politik, adalah PR yang harus segera diselesaikan oleh pemimpin mendatang.
Oleh karena itu, jika kita masih terjebak pola pemikiran lama di mana memilih pemimpin hanya berdasar fanatisme agama dan kedaerahan, didasari emosional serta hasil pencitraan, maka jalan gelap yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H