Menjelang dan sesudah gelaran Pemilihan Presiden 2019, banyak kalangan yang menyeru penolakan politik identitas. Sayangnya politik identitas di sini dimaknai sangat sempit yakni sebatas penggunaan ayat dan simbol agama untuk meraih dukungan massa. Padahal politik identitas memiliki dimensi yang lebih luas.
Mari kita pahami dulu politik identitas yakni penggunaan identitas yang melekat pada seseorang. Termasuk di dalamnya adalah suku, warna kulit, agama, keyakinan, gender - bahkan terbaru turut dimasukan, orientasi seksual.
Seseorang yang berkampanye agar masyarakat memilih dirinya atau orang lain berdasarkan sukunya, adalah bentuk politik identitas karena menggunakan kesamaan suku sebagai basis memilih calon pemimpin.
Demikian juga ketika seseorang mengkampanyekan penolakan terhadap kontestan perempuan. Sebab saat seseorang lahir ke dunia, dirinya tidak bisa memilih menjadi laki-laki atau perempuan sehingga tidak elok ketika hal itu dijadikan tolok ukur dalam memilih pemimpin. Â Â
Salah satu perdebatan tentang politik identitas yang cukup menarik adalah ketika menyinggung apakah Presiden Indonesia harus suku asli (pribumi), dan bersuku Jawa?
Sebuah partai politik yang menolak istilah pribumi, pernah melakukan tes DNA yang melibatkan artis, figur publik dan media yang concern dengan konten sejarah. Hasilnya, tidak ada orang Jawa asli, tidak ada orang Indonesia asli, karena  DNA-nya sudah bercampur-baur dengan suku bangsa lain.
Penulis termasuk yang menolak klaim tersebut. Sebab jika pengertian pribumi, orang asli, didasarkan pada DNA saat ini, jelas keliru. Dengan menggunakan metode yang sama akan didapati tidak ada orang Australia asli, tidak ada orang Jepang asli, China asli, India asli, dll.
Manusia saat ini sudah berinteraksi dan membaur. Tetapi tetap saja ada pribumi China, pribumi Australia, pribumi Amerika dan lain-lain. Jawa, Batak, Dayak, Minang, Menado, Papua, dll, adalah suku yang telah ribuan bahkan jutaan tahun, mendiami wilayah yang kini bernama Indonesia, sehingga keberadaannya tidak boleh dinafikan demi tujuan politik sesaat.
Mestinya kita memperkuat diskursus sekaligus membatasinya hanya pada larangan penggunaan politik identitas. Semua warga bangsa, apa pun sukunya, asli atau pendatang, memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam sebuah kontestasi elektoral termasuk Pilpres, sepanjang telah memenuhi syarat yang ditentukan.