Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menelisik Pasal Penghinaan Pemerintah dalam RKUHP

26 November 2022   09:16 Diperbarui: 28 November 2022   08:32 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit memahami alasan penyusun  draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terkait pengistimewaan kepada pemerintah. Pengistimewaan yang dimaksud adalah larangan bagi warga negara untuk melakukan penghinaan terhadap pemerintah.  

Sementara larangan serupa tidak berlaku bagi anggota lembaga negara lainnya yakni DPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dll.

Larangan penghinaan sebagaimana maksud draft RKUHP awalnya dengan alasan untuk melindungi harkat dan martabat Presiden dalam kapasitas sebagai kepala negara. Namun dalam draft terbaru, terjadi pergeseran yakni melindungi pemerintah yang dipertegas dengan masuknya menteri sebagai pihak yang dapat melaporkan (delik aduan) manakala (merasa) dihina oleh masyarakat.

Mari kita lihat draft Ayat 1 Pasal 240 RKUHP terbaru: Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan 'pemerintah' adalah Presiden, Wakil Presiden dan para menterinya.

Kita menduga perubahan isi ayat itu untuk menghindari frasa "penghinaan kepada presiden" yang telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui MK telah mencabut Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP yang pada intinya dapat dipakai untuk mempidana siapa saja yang menghina Presiden dan Wakil Presiden.

Sebab meski sebelumnya pemerintah bersikeras masuknya pasal tersebut berbeda dengan yang dimaksud MK karena sebelumnya delik biasa dan sekarang menjadi delik aduan, substansinya tetap sama.  

Kita juga mempertanyakan urgensi perlindungan kepada para menteri terkait penghinaan, namun tidak diberlakukan kepada kepala dan anggota lembaga negara lainnya. Pasal penghinaan terhadap hakim pun hanya berlaku selama proses peradilan.

Apakah kedudukan menteri lebih tinggi, atau karena beban kerjanya? Lalu mengapa kepala daerah yang juga memiliki beban kerja cukup berat tidak dilindungi dengan pasal penghinaan?

Jangan-jangan masuknya frasa "para menterinya" juga dimaksudkan untuk membedakan dengan pasal yang sebelumnya telah dibatalkan MK. Jika benar demikian, tentu sangat naif.

Kita sepakat penghinaan berbeda dengan kritik. Sangat paham. Tetapi ingat, penghinaan juga multitafsir. Sangat mungkin dalam satu kasus, si pelaku merasa sedang melakukan kritik, namun si pejabat merasa dihina.

Jika pasal penghinaan tetap diterapkan, bisa saja kelak terjadi hal seperti ini: Sebuah tulisan menyebut menteri A tidak becus bekerja. Tulisan tersebut disertai data beberapa kegagalan Menteri A. Namun si menteri merasa dirinya telah dihina melalui frasa "tidak becus bekerja", dan melapor ke polisi.    

Kita menolak setiap upaya untuk melindungi jabatan dan institusi publik secara berlebihan. Apalagi sudah ada pasal lain yang juga dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melindungi individu. Tidak perlu dibuat khusus karena akan mengesankan pengistimewaan.

Menghentikan kritik, yang kemudian bisa ditafsirkan sebagai penghinaan, adalah dengan bukti kinerja, bukan berlindung di balik hukum.

Ingat, semakin tebal perlindungan yang diberikan, maka sesungguhnya semakin terlihat borok yang ingin ditutupi. Pemimpin yang baik, tidak akan tumbang oleh penghinaan, tidak juga terbang oleh pujian.  

Beda hal memang ketika kekuasaan dibangun dalam bilik pencitraan. Semua daya dikerahkan demi melindungi citra diri.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun