Tarik-ulur pengganti Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa begitu kuat jika kita melihat dari "lambatnya" penyerahan surat Presiden (surpres) kepada DPR. Surpres dimaksud adalah pengajuan nama calon Panglima TNI oleh Presiden. Selama ini surpres hanya berisi satu nama kandidat.
Setelah adanya surpres, DPR melakukan fit and propertest. Jika disetujui DPR, maka Presiden bisa langsung melantik menjadi Panglima TNI. Jadi, meski pun penunjukan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden, namun menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 13 Ayat 2, pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI harus dengan persetujuan DPR.
Saat ini ada tiga kandidat Panglima TNI yang akan menggantikan Jenderal Andika yang pensiun per 23 Desember 2022. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono.
Jika mengikuti tradisi yang berlaku selama ini, sebenarnya mudah saja kita menebak siapa yang menjadi Panglima TNI berikutnya. Sebab sebelumnya Panglima TNI telah dijabat mantan KSAU (Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto) dan mantan KSAD (Andika) sehingga otomatis posisi Panglima TNI berikutnya menjadi "jatah" KSAL.
Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Terpilihnya Andika sebenarnya juga "melenceng" dari tradisi karena sebelum Hadi Tjahjanto, Panglima TNI dijabat Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang notabene dari Angkatan Darat.
Artinya, terbuka kemungkinan Presiden Joko Widodo tidak akan mengikuti tradisi urut kacang. Hal ini sekaligus untuk menegaskan bahwa pemilihan Penglima TNI merupakan kewenangan Presiden. Sebab UU hanya mensyaratkan adanya pergantian antarangkatan, bukan urut kacang.
Penunjukan Panglima TNI mestinya hanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tantangan keamanan dalam negeri dan global. Sementara terkait kapasitas, kapabilitas dan integritas, Presiden tinggal memperhatikan usulan dari Dewan Kepangkatan dan jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes TNI.
Namun tidak bisa dihindari, Presiden tentu juga akan memasukan unsur subjektif terkait kepentingan politik, terutama yang menyangkut dukungan dan keberlangsungan program kerja Presiden dan para pembantunya. Tidak mungkin Presiden menunjuk Panglima TNI yang tidak sejalan dnegan visi-misinya.
Dengan mengabaikan tradisi yang sudah berlaku sejak 2004, maka peluang Jenderal Dudung menjadi terbuka. Istana bisa berdalih, setelah Andika, penggiliran jabatan Panglima TNI dimulai dari nol lagi. Artinya bisa saja AD, AU, AL, atau AD, AL AU.
Sekali pun kita mendukung Presiden tidak perlu mengikuti tradisi giliran, tetapi untuk Presiden juga perlu mempertimbangkan hal-hal yang menjadi atensi publik.