Tanpa wibawa dan aura kepemimpinan yang kuat, publik tidak yakin Muhaimin bisa ngotot untuk mengegolkan agendanya menjadi capres maupun cawapres.
Faktor lainnya adalah kemungkinan Muhaimin sengaja menjadikan pencapresannya sebatas alat tawar (bargaining possition) kepada partai dan capres lain untuk kepentingan berbeda. Artinya Muhaimin tidak benar-benar ingin menjadi capres maupun cawapres.
Jika benar-benar ingin menjadi capres ataupun cawapres di Pilpres 2024, masih ada waktu bagi Muhaimin untuk berbenah, terutama menaikan elektabilitas. Dengan elektabilitas tinggi dan modal suara PKB, Muhaimin bisa menghapus status sebagai "penggembira pilpres".
Tetapi menaikan elektabilitas bukan hal yang mudah bagi Muhaimin. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain, pertama, Muhaimin lebih senang menjadi bagian dari gerbong pemerintah. Dukungan yang diberikan kepada pemerintahan SBY dan kini Jokowi, seolah tanpa reserve.
Contohnya dalam kasus revisi UU KPK, pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja, hingga kenaikan harga BBM baik di era SBY maupun Jokowi.
Kedua, Â Muhaimin tidak banyak melakukan manuver politik yang mampu membuka mata masyarakat. Manuvernya saat menggagalkan Mahfud sebagai cawapres Jokowi, justru melahirkan sikap antipati dari pendukung Jokowi dan Mahfud.
Ketiga, masih ada Gusdurian yang belum bisa menerima Muhaimin. Tetapi mereka tetap memilih PKB karena dianggap warisan Gus Dur yang harus dijaga dan dibesarkan.
Keempat, banyaknya kontroversi yang diciptakan kader PKB di kabinet yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Â
Mereka dianggap sebagai "orangnya Muhaimin" sehingga setiap kontroversi yang terjadi berimbas langsung pada elektabilitas Muhaimin, bukan PKB.