Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Klaim Mahathir Bisa Menyulut Perang Kawasan

24 Juni 2022   09:06 Diperbarui: 3 Juli 2022   18:33 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ENTAH dapat ilham dari mana, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad membuat klaim mengejutkan. Menurutnya Malaysia harus mengeklaim Singapura dan Kepulauan Riau sebagai bagian dari wilayahnya.

"Seharusnya kita tidak hanya menuntut agar Pedra Branca dan Pulau Batu Puteh dikembalikan kepada kita. Kita juga harus menuntut Singapura dan Kepulauan Riau karena mereka adalah Tanah Melayu" dikutip seutuhnya dari Kompas.com

Untuk memperkuat klaimnya, Mahathir juga menggunakan dasar historis yakni bekas wilayah Kerajaan Johor dan Kerajaan Malaka.

Pernyataan Mahathir seolah menyahut lontaran kekesalan Ustaz Abdul Somad (UAS) sesaat setelah ditolak masuk Singapura dengan status "not to land". Alasannya UAS dianggap telah meradikalisasi warga Singapura.

Menangapi perlakuan itu, UAS mengatakan tidak kapok dan tetap memiliki keinginan pergi ke Singapura yang disebutnya bagian dari wilayah Kerajaan Melayu Tumasik.

Menurut UAS, orang-orang (Melayu) Riau memandang Singapura sebagai bagian dari Tanah Melayu.

Klaim Mahathir bukan hal baru. Melalui konsep nine dash line, China mengeklaim Laut Natuna sebagai wilayahnya. Tiongkok menyebut Laut Natuna (sebelumnya bernama Laut China Selatan) adalah wilayah tangkapan ikan nelayan tradisonalnya sejak Dinasti Ming.

Klaim historis tentu tidak bisa diterima Indonesia. Sebab Indonesia juga bisa mengeklaim sebagian besar wilayah di kawasan Asia Tenggara menjadi kedaulatannya berdasar luas wilayah Kerajaan Singasari yang diperluas lagi oleh Majapahit.

Tetapi keputusan para pendiri Indonesia sudah tepat, dengan tidak menggunakan klaim historis melainkan berdasar luas wilayah bekas jajahan Belanda sesuai prinsip uti possideti juris yang diakui secara internasional. 

Keputusan tersebut dirumuskan dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian dilanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Prinsip relevant waters (perairan terkait) yang digunakan China juga tidak dapat dibenarkan karena hukum internasional hanya mengakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention On the Law of the Sea/ UNLCLOS) tahun 1982 sebagai pijakan untuk menetukan batas wilayah laut dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) suatu negara.

Pernyataan Mahathir menjadi berbahaya karena beberapa hal.

Pertama, ketegangan hubungan Indonesia dan Malaysia mudah tersulut karena adanya jejak sejarah di mana Bung Karno pernah mengirim pasukan untuk menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia oleh Inggris yang mengikutkan Kalimantan Utara plus Brunei, dan Singapura.

Bung Karno menuding keberadaan Federasi Malaysia sebagai bentuk kolonialisme baru seraya menggelorakan slogan "Ganyang Malaysia".

Perang berakhir dengan kekalahan di pihak Indonesia. Fedrasi Malaysia tetap terbentuk meski belakangan Singapura melepaskan diri menjadi negara berdaulat.

Konfrontasi dengan Malaysia masih menyisakan luka bagi sebagian masyarakat Indonesia baik kepada Malaysia dan juga Singapura.

Terlebih ketika permintaan Bung Karno  melalui utusan khusus agar dua prajurit KKO (Marinir) Usman dan Harun yang meledakan MacDonald House Singapura diperlakukan sebagai tawanan perang, ditolak hingga kemudian menjalani hukuman gantung di penjara Changi.

Sebagai balasan, Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional dan berpuluh tahun kemudian nama Usman Harun diabadikan pada kapal perang dan seruas jalan di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat. 

Penyebutan red dot oleh Presiden BJ Habibie tahun 1998 sempat memercik api panas dalam konteks hubungan diplomatik Indonesia - Singapura.

Demikian juga dengan Malaysia. Insiden pemasangan bendera Merah Putih terbalik pada buku panduan pembukaan SEA Games 2017 di Malaysia, bergesernya pathok tapal batas di Kalimantan, kekerasan pada TKW, dll, dengan mudah mengobarkan semangat patriotisme di Jakarta.

Kedua, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan masih menyisa "dendam" bagi sebagian rakyat Indonesia. Persoalannya bukan hanya karena Indonesia kalah dalam sidang di Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2002, melainkan kecurangan yang dilakukan jiran serumpun itu.

Pada tahun 1967 kedua pihak sepakat Pulau Sipadan dan Ligitan dalam posisi status quo.  Namun diam-diam Malaysia membangun tempat wisata, menempatkan polisi hutan dan mengusir warga Indonesia.

Indonesia merasa dicurangi karena meski kondisi terkini di kedua pulau tidak dijadikan pertimbangan oleh 15 hakim ICJ di Den Haag ketika memenangkan Malaysia, tetapi pembangunan resort dan cottage menyalahi kesepakatan tahun 1967.

Dari sini dapat dipahami jika dalam suatu pertandingan olahraga yang melibatkan Malaysia, muncul celetukan suporter Indonesia, "tidak menjadi juara tidak apa-apa, asal bisa mengalahkan Malaysia". 

Ketiga, perang Rusia-Ukraina salah satunya dipicu oleh klaim wilayah, selain soal keinginan Ukraina bergabung dengan NATO yang akan mendekatkan tentara barat ke perbatasan Rusia.

Ketegangan di Laut China Selatan juga dipicu hal yang sama. Klaim gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly oleh banyak negara, terutama China yang kini telah "menduduki" meski mendapat protes keras dari Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunie.

Jika pernyataan Mahathir dianggap sebagai ancaman potensial, bahkan provokasi, oleh Indonesia, maka bukan hal yang luar biasa manakala akan muncul gejolak dengan tensi tinggi.

Dengan berbagai persoalan di atas, dan semboyan heroik "NKRI Harga Mati" sangat mudah menghimpun kekuatan rakyat yang tergabung dalam kompenen cadangan strategis untuk berbaris menuju perbatasan Malaysia.

Meski diucapkan oleh warga biasa, bukan sikap resmi negara, Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak boleh menganggap enteng pernyataan Mahathir.

Sebab jika dibiarkan klaim-klaim serupa akan semakin sering terlontar, bahkan mungkin menjadi konsumsi politik di Malaysia yang akan memanaskan telinga kita.

salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun