Pada tahun 1967 kedua pihak sepakat Pulau Sipadan dan Ligitan dalam posisi status quo. Â Namun diam-diam Malaysia membangun tempat wisata, menempatkan polisi hutan dan mengusir warga Indonesia.
Indonesia merasa dicurangi karena meski kondisi terkini di kedua pulau tidak dijadikan pertimbangan oleh 15 hakim ICJ di Den Haag ketika memenangkan Malaysia, tetapi pembangunan resort dan cottage menyalahi kesepakatan tahun 1967.
Dari sini dapat dipahami jika dalam suatu pertandingan olahraga yang melibatkan Malaysia, muncul celetukan suporter Indonesia, "tidak menjadi juara tidak apa-apa, asal bisa mengalahkan Malaysia".Â
Ketiga, perang Rusia-Ukraina salah satunya dipicu oleh klaim wilayah, selain soal keinginan Ukraina bergabung dengan NATO yang akan mendekatkan tentara barat ke perbatasan Rusia.
Ketegangan di Laut China Selatan juga dipicu hal yang sama. Klaim gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly oleh banyak negara, terutama China yang kini telah "menduduki" meski mendapat protes keras dari Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunie.
Jika pernyataan Mahathir dianggap sebagai ancaman potensial, bahkan provokasi, oleh Indonesia, maka bukan hal yang luar biasa manakala akan muncul gejolak dengan tensi tinggi.
Dengan berbagai persoalan di atas, dan semboyan heroik "NKRI Harga Mati" sangat mudah menghimpun kekuatan rakyat yang tergabung dalam kompenen cadangan strategis untuk berbaris menuju perbatasan Malaysia.
Meski diucapkan oleh warga biasa, bukan sikap resmi negara, Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak boleh menganggap enteng pernyataan Mahathir.
Sebab jika dibiarkan klaim-klaim serupa akan semakin sering terlontar, bahkan mungkin menjadi konsumsi politik di Malaysia yang akan memanaskan telinga kita.
salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H