Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Megawati dan Naluri Seorang Ibu

21 Juni 2022   17:46 Diperbarui: 27 Juni 2022   06:17 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETUA Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengaku heran karena sampai saat ini perempuan masih sebatas ndeleng (melihat), tidak diajak berperan secara aktif (di ranah politik).

Dengan gaya khasnya, Megawati pun menyuruh kader-kader perempuan yang hadir dalam Rakernas PDIP bertepuk tangan kala ia menyuruh out kader (laki-laki) yang tidak mau sejajar dengan kaum perempuan.

Sebagai ketum partai terbesar sekaligus mantan presiden perempuan pertama Indonesia, ucapan Megawati bukan sesuatu yang aneh. Bahkan karena posisi dan pengalamannya, Megawati mestinya lebih sering mengkampanyekan hal itu.

Bukan rahasia lagi, masih ada sekelompok orang yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin. Kedudukan perempuan dalam berbagai bidang juga kadang masih termarjinalkan. Kontemplasi Megawati akan nasib kaum perempuan Indonesia, layak mendapat apresiasi apa pun pilihan politik kita.

Tetapi, apakah semangat Megawati semata dan berlaku untuk seluruh perempuan? Atau hanya demi kepentingan perempuan tertentu?

Sebab dalam konteks politik, dengan mudah kita mengaitkan pernyataan Megawati dengan kedudukan putrinya, Puan Maharani.

Pertama, ucapan Megawati agar perempuan tidak hanya melihat selaras dengan porsi dan kedudukan yang diberikan partai kepada Puan. Selain menjabat ketua DPP PDIP. Puan adalah ketua DPR.

Jabatan ketua DPR bukan didasarkan pada "prestasi" melainkan jatah PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 sebagaimana diatur dalam UU MD3 yang telah direvisi. 

Jika kemudian Megawati memilih Puan untuk menduduki posisi tersebut, mengalahkan banyak kader laki-lkai dari 128 anggota Fraksi PDIP di DPR, kita melihatnya dalam rangka semangat "perempuan tidak hanya ndeleng".

Kedua, ini yang menggelitik, apakah ucapan Megawati terkait Pilpres 2024? Bukan rahasia lagi, saat ini Puan tengah berkompetisi dengan kader PDIP lainnya, Ganjar Pranowo, untuk merebut tiket yang dimiliki partai banteng moncong putih.

Sebagai satu-satunya partai yang dapat mengusung pasangan capres dan cawapres tanpa berkoalisi karena sudah memiliki 22 persen kursi di DPR, perahu PDIP diyakini akan digunakan untuk mengusung kader sendiri.

Persoalan timbul ketika Ganjar mendapat "dukungan kuat" dari lembaga survei. Meski elektabilitas gubernur Jawa Tengah itu masih di bawah Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, pendukungnya terlihat ingin menggunakan elektabilitas Ganjar sebagai modal untuk "memaksa" PDIP.

Ganjar juga telah memiliki pendukung dan bahkan kelompok relawan di berbagai daerah. Ganjar yang rajin berkunjung ke daerah, juga sering mendapat sambutan meriah dengan teriakan "presiden".

Ada juga beberapa kader akar rumput PDIP yang telah menyuarakan dukungannya kepada Ganjar dan memilih keluar barisan ketika dilarang sehingga membuat berang Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang "Pacul" Wuryanto.

Bambang Pacul juga sempat menuding Ganjar kurang njawani, dan telah membangun pasukan media sosial untuk menaikkan elektabilitasnya.

Di sisi lain, Megawati dengan naluri keibuannya dan keinginannya agar perempuan sejajar, tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendorong Puan sebagai capres PDIP. Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Penolakan keras PDIP terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945, adalah contoh yang dapat dibaca ke arah sana. Bukankah jika masih menghendaki presiden laki-laki, Megawati mestinya setuju dengan ide perpanjangan masa jabatan presiden sehingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang notabene kader PDIP, dapat melanggengkan kekuasaannya?

Sulit dipungkiri, sampai saat Jokowi masih memiliki elektabilitas paling tinggi meski berbagai persoalan di pemerintah, utamanya di bidang ekonomi, terkesan morat-marit. Ingat, survei-survei yang menempatkan Prabowo dan Ganjar di posisi teratas tidak menyertakan Jokowi.

Dari kontruksi demikian, maka akhirnya kita justru memiliki kesimpulan lain terkait seruan Megawati agar menempatkan perempuan secara sejajar, tidak hanya disuruh ndeleng.

Setelah hampir 8 bulan elit PDIP mengkritik Ganjar, kini Megawati turun langsung dengan "mengusir" kadernya yang bangga dengan hasil survei dan bermain dua kaki. Tidak sulit untuk menebak siapa sosok yang disasar Megawati.

Sikap tegas dan keras Megawati tidak terlepas dari pertemuannya dengan Jokowi setelah sebelumnya sempat diisukan retak seperti dalam ulasan ini.

Peta politik di kandang banteng, utamanya yang terkait Pilpres 2024, kini semakin benderang. Menarik menunggu langkah Ganjar, apakah tetap akan berburu tiket capres, ataukan melakukan kontemplasi seperti Megawati.

Ganjar tentu tidak ingin nasibnya serupa kader-kader tenar PDIP yang tidak lagi bersinar setelah meninggalkan kandang banteng.  Tetapi jika tawaran dari luar begitu menggoda, apa saja bisa terjadi.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun