Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Dari sekian banyak aturan, ketentuan tentang afirmasi politik warga asli menjadi menarik di tengah upaya segelintir orang yang disokong dana besar dan kekuatan politik mengkampanyekan pangaburan identitas asli Indonesia. Â
Melalui  UU Nomor 22/2021 yang disahkan tanggal 15 Juli 2021, sebutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang lazim digunakan selama ini, khusus untuk Papua diubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Implementasi dari kekhususan adalah adanya anggota DPRD yang diangkat.
Jumlahnya cukup signifikan. Kemendagri memperkirakan akan ada 255 orang Papua asli, di mana 77 di antaranya perempuan, yang akan diangkat menjadi anggota DPRK. Terkait siapa yang mengangkat anggota DPRK yang jumlahnya seperempat dari total anggota DPRK hasil pemilu, masih menunggu terbitnya peraturan pemerintah (PP).
Kebijakan ini, menurut Kasubdit Provinsi Papua dan Papua Barat Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Budi Arwan didorong keinginan pemerintah untuk lebih megoptimalkan warga asli Papua dalam pembangunan.
Dikutip dari kompas.com, Â Budi Arwan mengatakan, "Dengan adanya kursi tambahan di DPRK, diharapkan ke depan, partisipasi keterlibatan orang asli Papua di dalam pembangunan akan lebih bisa dioptimalkan."
Menarik mencermati penggunaan frasa "orang Papua asli" yang akan diangkat menjadi anggota DPRK. Artinya anggota DPRK Papua memiliki dua jalur yakni berdasar hasil pemilu dan diangkat sebagaimana anggota DPR di masa Orde Baru.
Terlepas pro-kontra yang mengiringi  pengesahan Otsus Papua karena masih banyak aspirasi warga Papua yang belum tertampung dalam UU Otsus - seperti partai politik lokal, kita mengapresiasi penggunaan frasa "orang Papua asli".Â
Frasa itu mencerminkan keinginan kuat pemerintah untuk menghormati orang Papua asli agar ikut berperan dan terlibat aktif dalam pembangunan daerahnya. Warga Papua yang belum sepenuhnya siap dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia sekarang ini, harus dilindungi dari hegemoni kelompok lain.
Kita hanya berharap semangat yang sama ditunjukan pemerintah kepada kelompok di daerah lain. Pengakuan terhadap warga asli sangat penting untuk melawan upaya pihak-pihak yang ingin mengaburkan identitas dan lokalitas Indonesia.
Mengatakan tidak ada orang asli Indoensia melalui tes DNA bukan hanya sulit dipahami, namun juga berbahaya. Uji sampel terhadap DNA beberapa warga sebagai  alas pembenar tidak adanya orang asli Indonesia, adalah pengingkaran terhadap identitas bangsa. Bahwa telah terjadi akulturasi budaya, dan darah, tidak bisa dijadikan pembenar tidak ada orang Indonesia asli.
Silakan tes DNA orang Papua. Tentu juga bercampur dengan DNA dari daerah, bahkan bangsa, lain. Demikian juga DNA suku Ainu di Jepang, Aborijin  di Australia, Indian di Amerika dan lain-lain. Tentu juga sudah bercampur. Mengatakan tidak ada orang Jepang asli, tidak ada orang Australia asli, atau orang Amerika asli, menjadi candaan yang tidak cerdas dan berbahaya karena dapat mengaburkan identitas suatu daerah/negara.
Baca juga: Tes DNA dan Upaya Pengaburan Identitas Kebangsaan
Kita curiga tes DNA untuk melegitimasi kampanye tidak ada orang Indonesia asli, memiliki tujuan politik untuk merusak tatanan, budaya dan identitas bangsa, dan menggantikan dengan budaya dan identitas lain sesuai sponsornya.
Terlebih kita melihat adanya upaya penulisan ulang sejarah dengan memasukan nama-nama orang tertentu yang sebenarnya tidak ada dan menghilangkan peran orang-orang tertentu yang justru telah diakui secara luas. Orang-orang baru ini disisipkan dan selalu hadir dalam setiap peristiwa yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Kita menangkap adanya pesan upaya penggiringan opini bahwa orang-orang dari golongan tertentu memiliki peran sentral dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Fakta bahwa adanya pengkhianatan dalam setiap rezim, sejak era kolonial, dikaburkan dengan hadirnya tokoh-tokoh heroik dari golongannya. Ini sangat berbahaya dan anehnya tidak ada yang peduli.
Oleh karenanya, masuknya frasa "orang Papua asli" dalam UU Otsus Papua, layak diapresiasi bukan hanya karena telah memberikan ruang politik bagi warga Papua asli, namun juga bentuk penghormatan terhadap keragaman suku dan budaya asli yang ada di Indonesia sekaligus penegas adanya orang Indonesia asli.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H