Rapat paripurna DPR (23/3/21) telah mengesahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan RUU tentang Ibu Kota mulus, sementara revisi UU Pemilu justru pupus. Quo vadis, DPR?
Kita paham, Prolegnas hanyalah daftar inventarisasi RUU yang akan dibahas dalam masa kerja DPR tahun 2021. Fakta menunjukkan, tidak semua RUU atau revisi UU yang telah masuk masuk Prolegnas akan selesai dikerjakan oleh DPR dalam kurun waktu tersebut.
Terlebih bukan rahasia lagi, kinerja DPR di bidang legislasi sangat rendah. Sebagai contoh, dari 37 RUU yang masuk Prolegnas 2020, hanya 13 yang dapat diselesaikan menjadi UU. Â Kita pun pesimis 33 RUU usulan pemerintah, DPR, DPD dan 5 RUU usulan terbuka dalam Prolegnas 2012, dapat diselesaikan dalam kurun waktu 2021.
Dari sinilah kekuatiran itu beranjak. Sebab sangat mungkin DPR dan pemerintah hanya akan mengejar pembahasan RUU yang dianggap prioritas dari kacamata pemangku kepentingan, bukan rakyat.
Pembahasa RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dijadikan contoh bagaimana ngototnya anggota DPR - tentu dengan dukungan pemerintah- kerja nonstop merampungkan pembahasan dan mengesahkannya tanpa mau mendengar aspirasi berbagai elemen masyarakat. Sementara RUU lain yang sudah masuk Prolegnas, diabaikan karena mungkin tidak ada urgensitasnya bagi kepentingan DPR, juga pemerintah.
Kecenderungan itu tampak dari masuknya RUU BPIP yang merupakan "baju baru" dari RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) Fraksi PANÂ termasuk yang awalnya menolak keras masuknya RUU BPIP dalam Prolegnas 2021 karena berpotensi menimbulkan polemik hingga penolakan dari masyarakat seperti ketika masih bernama RUU HIP.
PAN juga sempat menolak masuknya RUU Ibu Kota karena belum urgen di mana pemerintah masih harus fokus pada penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Namun ke mana suara PAN, termasuk PKB dan Golkar yang sebelumnya juga menolak RUU HIP, dalam paripurna kemarin? Hanya PKS yang lantang menyeru penolakan dalam pandangan fraksinya. Yang lebih lebih suka membungkus dalam kalimat bersayap hingga sebagian masyarakat tidak paham "kelaminnya".
Kita paham, perubahan sikap politik bukan barang haram. Awalnya menolak kemudian di akhir menyetujui, bahkan paling awal menikmati, bukan hal baru. Terlebih mayoritas penghuni Senayan bukan berangkat dari keinginan memperjuangkan ideologi yang diyakini, melainkan karena ada kesempatan. Kita sudah tidak percaya, bahkan sebelum pemilu, mereka mau berkeringat memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun terpaksa kita kembali bersuara karena yang dipertontonkan saat ini benar-benar tidak dapat dipahami dengan logika politik yang paling dangkal. Keberadaan RUU HIP yang kita menjadi BPIP, akan merugikan partai-partai non-nasionalis.
Lebih jauh lagi, sebelumnya telah ada wacana memeras Pancasila menjadi tinggal beberapa sila atau mengganti/menambah frasa dalam sila sehingga maknanya menjadi bias. Cetusan Ketuhanan Yang Berkebudayaan, yang sempat menjadi polemik sebelumnya, adalah contoh pengaburan makna Sila Pertama. Bahkan Presiden Soekarno tidak pernah menyebut Ketuhanan Yang Berkebudayaan.