Permadi Arya yang ngetop dengan akun Abu Janda dikenal sebagai penggiat media sosial yang berani dan asal twit melalui akunnya di Twitter. Tidak terhitung lagi berapa korban twitnya. Tak heran jika sosok pria kelahiran 1976 ini menjadi idola pendukung kubu pemerintah.
Tanpa diumumkan pun, semua mahfum di mana "posisi kakinya". Namun tetap saja mengejutkan ketika Permadi Arya blak-blakkan mengaku dirinya buzzer yang direngkrut tim sukses  Jokowi sejak 2018.
"Saya direkrut 2018 dengan gaji bulanan, gede lo," kata Permadi Arya  di sini.
Pernyataan Permadi sepintas hal yang wajar. Tidak ada yang salah dengan kejujuran. Jujur adalah salah satu ciri ksatria- gentleman, sehingga layak dihormati. Terlebih di dalam komunitas hipokrit.
Namun dalam konteks kejujuran Permadi, ada hal lain yang menggelitik. Sebab hal itu disampaikan saat dirinya harus menghadapi proses penyidikan di Bareskrim Polri atas dua kasus yang cukup menyita perhatian yakni cuitan yang ditujukan kepada mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai yang dianggap rasis oleh sebagian kalangan, dan twit "Islam arogan" yang menyinggung banyak pihak termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU). Sampai-sampai ke-nahdliyin-an Abu Janda dipertanyakan.
Beralas hal tersebut, kita menangkap kejujuran Permadi lebih ditujukan ke pihak tertentu, bukan kejujuran an sich. Permadi sepertinya tengah mengirim kode SOS ke "kakak pembina"- sosok anonim yang sempat disebut sebagai  pembina buzzer. Maknanya bisa save our souls yakni merujuk pada diri dan kelompoknya atau bisa juga  save our ship karena menganggap "kapalnya" bisa karam jika orang-orang seperti dirinya (baca: buzzer rekrutan tim Jokowi) menjalani proses hukum. Â
Tentu hanya Permadi Arya alias Abu Janda yang tahu maksud sebenarnya. Dan kita menghargai  apa pun makna yang tersurat dan tersirat.
Kita hanya mendorong agar tidak ada toleransi terhadap tindakan rasisme, atas nama dan atas kepentingan apa pun, karena sangat menjijikkan, merendahkan kemanusiaan. Tidak ada yang lebih hina sebagai manusia selain menyamakan manusia lainnya dengan binatang.
Beda pilihan politik, beda pendapat, harus tetap dipahami sebagai bagian demokrasi yang menjunjung tinggi keragaman pikir, keragaman budaya, keragaman suka bangsa dan agama. Tidak harus setiap perbedaan pikir, pendapat, diposisikan sebagai musuh yang wajib dihabisi dengan cara  apa pun.