RUU Pemilu telah disetujui DPR masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk mengubah jadwal pilkada 2022 dan 2023 yang semula akan digelar serentak di 2024.
Dukungan untuk mengembalikan jadwal pilkada sesuai masa habis kepala daerah diserukan Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Nasdem dan PKS.
"Kami berharap semua itu tetap dilaksanakan sesuai jadwalnya pada 2022 dan 2023," kata anggota Baleg DPR Fraksi Golkar Nurul Arifin.
Pendapat Golkar didukung Nasdem yang memiliki empat alasan yakni berdasar teknis kepemiluan, pertimbangan kualitas elektoral, keamanan dan masa jabatan. Sementara PKS beralasan dengan adanya kepala daerah definitif maka kinerja peperintahan daerah akan optimal.
Namun keinginan empat partai itu bisa terganjal sikap PDIP, PKB, PAN dan PPP yang sejauah ini menyatakan menolak dan tetap menginginkan pilkada serentak digelar 2024 bersamaan dengan pemilu dan pilpres. Â Â
Sedang Gerindra masih wait and see. Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad  menyebut Gerindra sedang menghitung dan mengkaji serta menunggu pendapat partai politik.
Seperti diketahui, sebanyak 101 kepala daerah meliputi sembilan provinsi termasuk DKI Jakarta yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2022. Sedangkan yang berakhir masa jabatan pada tahun 2023 ada 171 daerah yang meliputi 17 provinsi termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Jadi-tidaknya pilkada 2022 dan 2023 sangat tergantung pada komposisi suara di DPR. Gabungan suara yang setuju sejuah ini sudah berjumlah 248 dan 575 kursi DPR yakni Partai Golkar (85 kursi), Nasdem (59 kursi), Demokrat (54 kursi) dan PKS (50 kursi). Â
Sementara suara yang mendukungb pilkada serentak tetap dilaksanakan 2024 memiliki 247 kursi yang terdiri PDI Perjuangan (128 kursi), PKB (56 kursi), PAN (44 kursi) dan PPP (19 kursi).
Artinya kekuatan kubu yang pro dan kontra masih berimbang. Suara Gerindra yang memiliki 78 kursi, akan sangat menentukan kubu mana yang menang.
Sikap PDIP bisa dipahami karena jika pilkada digelar serentak, maka jabatan kepala daerah yang kosong akan diisi oleh pelaksana tugas (plt). Jabatan ini bisa diisi oleh pegawai dari daerah tersebut maupun droping dari Kementerian Dalam Negeri. Meski aparatur sipil negara (ASN) dilarang berpolitik, namun para pejabat yang ditunjuk tentu akan sangat loyal kepada pemerintah pusat. Â Posisi demikian tentu menguntungkan PDIP sebagai partai penguasa.
Namun bagaimana jika kubu pro pilkada 2022 dan 2023 yang menang?
Tensi politik di Jakarta akan meningkat. Tahun 2022 menjadi tahun krusial karena partai-partai besar ingin menempatkan kadernya sebagai kandidat. PDIP, Golkar, Gerindra tentu tidak ingin melepas kesempatan untuk mendudukkan kader sebagai gubernur DKI. Terlebih ada gelaran Pilpres 2024 sehingga pilkada DKI dipandang sebagai pilpres mini. Â
Namun demikian, sangat mungkin calon akan mengerucut hanya pada 2-3 orang. Nama Anies Baswedan berada di urutan pertama dengan status petahana, disusul Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Nama Risma memang selalu dikaitkan dengan pilkada DKI, bahkan sejak  gelaran 2012. Mantan wali kota Surabaya ini sempat diunggulkan akan diusung PDIP pada Pilkada 2017. Namun kemudian terpental di menit akhir. Â
Setelah menjadi Mensos, kader PDIP itu rajin safari ke kolong jembatan di jakarta bawah sorotan kamera. Bahkan saking rajinnya Risma bisa menemukan gelandangan di Jalan Jenderal Sudirman yang selama ini steril karena merupakan jalan protokol utama.
Temuannya pun menuai pro-kontra karena dianggap mengada-ada. Tidak sedikit yang beranggapan aksi Risma sengaja untuk mendistorsi keberhasilan Anies menata kawasan Sudirman -- Thamrin yang saat ini cukup indah dan menjadi destinasi wisata ramah pejalan kaki.
Tentu menarik jika PDIP menjagolan Risma di Pilkada DKI 2022 mendatang.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H