Surat berkop Sekretariat Kabinet berisi permintaan kepada camat untuk membantu perusahaan pribadinya yang dikirim Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Andi Taufan Garuda Putra, bakal berbuntut panjang.
Meski telah menarik surat dan meminta maaf, namun jika ditemukan adanya potensi korupsi, pendiri perusahaan Amartha Mikro Fintek ini terancam hukuman mati.
Seperti diketahui, dalam suratnya, Andi Taufan  meminta agar camat membantu edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri  untuk menghadapi pandemi virus korona (Covid-19) yang tengah dikerjakan perusahaanya.
Surat tersebut, menurut Direktur Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, sarat dengan kepentingan pribadi karena Taufan meminta bantuan untuk mendukung perusahaannya sendiri dengan menggunakan kop Sekretariat Kabinet.
Menurut Feri, jika terdapat motif untuk mendapat keuntungan dengan memanfaatkan kedudukannya, maka dapat digolongkan sebagai tindak korupsi.Â
Jika potensi korupsi terpenuhi, maka Andi Taufan dapat dijerat dengan hukuman  maksimal yakni 20 tahun penjara atau hukuman mati karena untuk mencari keuntungan di tengah bencana. Â
Andi juga dianggap telah melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN karena melakukan tindakan yang bermuatan konflik kepentingan.
Feri pun menyeru agar Presiden Jokowi memecat Taufan karena tindakannya dapat memunculkan kesan istana memanfaatkan keuntungan di tengah bencana.
Baca juga : Stafsus Presiden, Sebaiknya Mundur atau Dimundurkan?
Pertanyaannya, adakah muatan atau indikasi korupsi di dalam surat Andi Taufan tertanggal 1 April yang dikirim ke camat seluruh Indonesia?
Surat Andi Taufan mirip dengan katebelece yang umum digunakan oleh pejabat di masa orde baru untuk meminta jatah atau memberikan rekomendasi untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Pada tingkat tertentu, katebelece akan dianggap sebagai surat perintah karena membawa konsekuensi jika penerimanya mengabaikan.
Meski tidak ada kata keharusan atau tekanan, tetapi penggunaan kop Sekretariat Kabinet dan pencantuman jabatan sebagai Staf Khusus Presiden, menjadi pembedanya dengan surat-surat peribadi lainnya.
Adanya conflict of interest  juga dapat dilihat dari redaksional suratnya di mana Andi Taufan dengan gamblang menyebut perusahaannya siap berpartisipasi dalam program relawan desa yang diinisiasi oleh Kementerian  Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Andi Taufan meminta bantuan pejabat di daerah (camat) untuk kepentingan perusahaanya. Di mana pun, setiap perusahaan tentu berorientasi pada keuntungan (profit), terkecuali perusahaan nirlaba atau yayasan sosial.
Faktor lain yang tidak kalah mengenaskan adalah ketidakpekaan terhadap kondisi saat ini. Sebagai orang dekat presiden, mestinya Andi "berkorban" terlebih dulu dibanding pengusaha lain dan masyarakat umum.
Artinya, Andi Taufan seharusnya mengesampingkan usahanya, perusahaannya, dan ikut fokus pada upaya penanganan bencana.  Bayangkan, di saat perusahaan lain megap-megap, terpaksa merumahkan karyawannya, Andi Taufan justru diduga hendak "memanfaatkan" situasi dan jabatannya untuk mendapatkan pekerjaan yang kemungkinan  akan mendatangkan "keuntungan" bagi perusahaannya.
Semoga saja Andi Taufan tidak berpikiran sejauh itu, melainkan hanya kekeliruan semata. Sungguh pun demikian, alangkah elok jika Presiden Jokowi memberikan teguran. Jangan sampai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi bencana non-alam ini tercoreng oleh hal-hal seperti itu.
Salam @yb
Baca juga : Inikah Tujuan Permenhub Luhut yang Sebenarnya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H