Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bahaya Lain di Balik Wacana Darurat Sipil

31 Maret 2020   10:34 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:52 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Kostrad mengamankan aksi unjuk rasa. Foto: KOMPAS.com/Vitorio Mantalean

Lontaran Presiden Joko Widodo terkait darurat sipil untuk mem-backup kebijakan pembatasan sosial skala besar, menjadi warning jika pandemi virus korona atau Covid-19 sudah sangat serius. Namun ada bahaya lain yang mengancam di balik wacana itu.

Kita tidak menutup mata, banyak yang meragukan kemampuan pemerintah menangani pandemi mengingat jumlah pasien yang terkonfirmasi positif mengidap Covid-19 mencapai ribuan, dan yang meninggal dunia sudah ratusan orang.

Perintah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Rusia dan Australia, agar warganya segera meninggalkan Indonesia, di antaranya didasarkan pada alasan tersebut.  

Seperti diketahui, saat ini sudah banyak negara yang memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) untuk memutus mata rantai sebaran virus yang bermula di Wuhan, China. Namun Presiden Jokowi tegas menolak opsi karantina wilayah. Mantan Wali Kota Solo itu tetap keukeuh dengan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) dan pengaturan jarak aman (physical distancing).  

Dalam rapat terbatas kemarin, Jokowi justru menyampaikan istilah baru yakni pembatasan sosial skala besar yang diikuti kebijakan darurat sipil.
Sebagai gambaran, darurat sipil bukan saja akan mengubah sistem, termasuk lumpuhnya peran lembaga-lembaga  demokrasi, namun juga meminggirkan kebebasan masyarakat. Atas nama kedaruratan maka penguasa diperbolehkan menguping pembicaraan warga.

Teorinya, darurat sipil hanya berlaku sementara. Manakala situasi dan kondisi sudah pulih, tatanan demokrasi dinormalkan kembali.  
Tetapi fakta berkata lain. Dalam situasi yang "didaruratkan" lazim muncul kekuatan baru dan mereka tidak akan mau melepas begitu saja. Mereka akan berusaha menciptakan kondisi demikian untuk waktu yang lama.

Baca juga: Mengenal Darurat Sipil yang Disampaikan Jokowi 

Kita meyakini darurat sipil bukan jawaban atas kondisi saat ini. Terlebih kita sudah memiliki UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang sebenarnya sudah dapat memayungi tindakan darurat yang diperlukan. Pemerintah (baca: presiden) hanya tinggal mengeluarkan peraturan pemerintah  sebagai acuannya.  

Wacana darurat sipil, apalagi disampaikan oleh kepala negara di forum rapat terbatas yang disiarkan kepada publik, bukan saja akan memancing perdebatan yang tidak perlu, namun juga dapat mematik isu darurat lain, termasuk darurat militer.

Bukan mustahil, manakala situasinya semakin "genting" dan korban pandemi Covid-19 semakin tak terkendali diikuti dengan letupan sosial, wacana darurat sipil berubah menjadi darurat militer.

Kita tegas menolak jika ada pihak-pihak yang mulai berpikiran ke arah itu. Kita belum, bahkan tidak, membutuhkan kepemimpinan militer di wilayah sipil. Supremasi sipil tetap harus dipertahankan, apa pun taruhannya. Kita hanya membutuhkan kehadiran militer untuk mem-backup sipil dalam mengendalikan situasi.

Oleh karenanya, kita mendesak pemerintah untuk menghentikan wacana darurat sipil karena :

Pertama, situasi dan kondisi saat ini masih dapat ditanggulangi dengan undang-undang yang ada sehingga tidak perlu sampai mengubah sistem. Ketegasan untuk menutup wilayah pandemi secara terbatas masih sangat memungkinkan.

Kebijakan demikian tidak mengurangi wibawa pemerintah pusat yang sejak awal menolak karantina wilayah, apalagi lockdown. Presiden cukup mendelegasikan kewenangan untuk melakukan karantina terbatas kepada kepala daerah.

Toh saat ini sudah ada beberapa daerah yang melakukan meski dengan penghalusan istilah seperti local lockdown, karantina terbatas, penuntupan situasional, dan lainnya.

Kedua, secara psikologis, batasan darurat dipil dan militer sangat tipis. Meski kepala daerah yang akan menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) namun tidak ada jaminan Panglima Komando Daerah Militer maupun Kepala Kepolisian Daerah (untuk tingkat provinsi) mau "tunduk" kepada gubernur.

Terbuka kemungkinan Pangdam maupun Kapolda akan melakukan "operasi" sendiri karena secara umum tatanan sipil telah lumpuh atau dilumpuhkan. DPRD, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga publik lainnya akan dipaksa untuk "diam" dulu. Bahkan lembaga penerbitan bisa saja ditutup karena memang diperbolehkan dalam Perppu Nomor 23/Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang menjadi payung hukum darurat sipil.

Kita tidak menginginkan hal itu terjadi. Kita mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan PP untuk mengaktifkan UU Kekarantinaan Kesehatan, bukan darurat sipil.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun