Oleh karenanya, kita mendesak pemerintah untuk menghentikan wacana darurat sipil karena :
Pertama, situasi dan kondisi saat ini masih dapat ditanggulangi dengan undang-undang yang ada sehingga tidak perlu sampai mengubah sistem. Ketegasan untuk menutup wilayah pandemi secara terbatas masih sangat memungkinkan.
Kebijakan demikian tidak mengurangi wibawa pemerintah pusat yang sejak awal menolak karantina wilayah, apalagi lockdown. Presiden cukup mendelegasikan kewenangan untuk melakukan karantina terbatas kepada kepala daerah.
Toh saat ini sudah ada beberapa daerah yang melakukan meski dengan penghalusan istilah seperti local lockdown, karantina terbatas, penuntupan situasional, dan lainnya.
Kedua, secara psikologis, batasan darurat dipil dan militer sangat tipis. Meski kepala daerah yang akan menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) namun tidak ada jaminan Panglima Komando Daerah Militer maupun Kepala Kepolisian Daerah (untuk tingkat provinsi) mau "tunduk" kepada gubernur.
Terbuka kemungkinan Pangdam maupun Kapolda akan melakukan "operasi" sendiri karena secara umum tatanan sipil telah lumpuh atau dilumpuhkan. DPRD, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga publik lainnya akan dipaksa untuk "diam" dulu. Bahkan lembaga penerbitan bisa saja ditutup karena memang diperbolehkan dalam Perppu Nomor 23/Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang menjadi payung hukum darurat sipil.
Kita tidak menginginkan hal itu terjadi. Kita mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan PP untuk mengaktifkan UU Kekarantinaan Kesehatan, bukan darurat sipil.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H