Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membaca Perlawanan dari Tegal

27 Maret 2020   12:48 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:39 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imbauan agar belajar, bekerja dan beribadah di rumah dianggap kurang memadai lagi.

Kedua, banyak warga Tegal, juga Papua, yang mencari nafkah ke luar daerah, terutama Jakarta. Menjelang puasa dan lebaran akan banyak warga yang mudik. Hal itu tentu membuat kuatir para kepala daerah mengingat sudah ada sejumlah warga yang positif mengidap Covid-19 sepulang dari Jakarta.

Larangan melakukan lockdown, bahkan diminta tetap menyediakan angkutan publik yang jelas tidak sejalan dengan imbauan untuk tetap di rumah, mungkin yang menjadikan Jakarta sebagai pusat sebaran (epicentrum) virus yang bermula di Wuhan, China tersebut.

Pertanyaan kini, benarkah kebijakan lockdown tidak pro masyarakat kecil dan penuh muatan politik? Bagi mereka yang kontra dan melihatnya hanya dari kacamata politik, lockdown dianggap dapat menimbulkan wabah yang lebih mengerikan yakni kelaparan dan huru-hara. Mereka beranggapan karantina wilayah hanya akan menyengsarakan masyarakat yang tidak memiliki tabungan dan mengandalkan penghasilan dari kerja harian.

Mungkin benar demikian. Sekali lagi mungkin. Tetapi apakah status kejadian luar biasa (KLB) dan tanggap darurat yang tidak jelas kapan berakhirnya, bukankah juga memiliki potensi terjadinya hal serupa?

Hal ini perlu disampaikan karena faktanya, sejumlah daerah telah memperpanjang masa KLB dan tanggap darurat. Dan tidak ada jaminan setelah masa 14 hari ke depan, bahkan hingga akhir April mendatang, pandemi korona akan berakhir.

Apa yang akan terjadi manakala pedagang kecil, pengusaha UMKM gulung tikar karena tidak ada kepastian sampai kapan physical distancing diberlakukan?

Benar, lockdown pun tidak menjamin durasi waktunya. Tetapi ada dua sisi positifnya. Pertama, kebutuhan pokok warga, terutama masyarakat kecil dijamin pemerintah. Kedua, sebaran virus akan lebih cepat terlokalisir karena tidak ada lagi warga yang lalu-lalang.

Ataukah pemerintah pusat tidak mau melakukan lockdown karena ada hal-hal lain di luar penanganan virus itu sendiri, semisal ketidaksiapan anggaran yang dibutuhkan? Semoga permintaan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar IMF membantu negara-negara yang terkena pandemi Covid-19 tidak terkait hal itu.

Seruan Amerika Serikat, Australia dan mungkin akan disusul negara-negara lain, agar warganya segara meninggalkan Indonesia, mestinya dijadikan warning, karena mungkin mereka menganggap Indonesia "tidak mampu" menangani pandemi Covid-19.

Jangan sampai pemerintah pusat benar-benar kehilangan wibawa manakala semakin banyak daerah yang membuat kebijakan sendiri, yang bertentangan dengan imbauan, bahkan instruksi Presiden.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun