Wali Kota Tegal Jawa Tengah, Dedy Yon Supriyono membuat kebijakan mengejutkan. Bukan hanya bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, perlawanan dari Kota Warteg itu seperti bersahut dengan kebijakan Gubernur Papua Lukas Enembe yang sudah terlebih dulu menutup akses ke wilayahnya.
Dalam jumpa pers kemarin, Yon memutuskan untuk menutup akses masuk ke Kota Tegal dengan beton movable concrete barrier (MCB). Kebijakan itu berlaku mulai 30 Maret -- 30 Juli 2020. Penutupan tersebut hanya dilakukan terhadap jalan kabupaten dan jalan desa. Sedang jalan provinsi dan nasional tetap dibuka.
Yon beralasan, kebijakan tersebut untuk mencegah penyebaran virus korona atau Covid-19 setelah satu warganya dinyatakan positif. Bukan hanya akses jalan, Yon juga akan menutup tempat-tempat publik, termasuk mematikan lampu taman dan alun-alun pada malam hari. Alhasil, Kota Tegal dipastikan akan gelap gulita hingga beberapa bulan mendatang.
Sebelumnya Papua juga mengumumkan hal serupa. Bandara Sentani yang menjadi akses utama keluar-masuk Papua sudah ditutup. Demikian juga dengan pelabuhan. Namun penutupan hanya untuk lalulintas orang. Sedang untuk angkutan barang logistik, termasuk alat kesehatan, tetap diperbolehkan masuk.
Baca juga : Papua (Akhirnya) Tutup Pintu Masuk, Bagaimana Daerah Lain?
Mengapa Tegal, juga Papua, berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat?
Presiden Joko Widodo telah berulangkali mengatakan tidak ada opsi lockdown. Demikian juga yang dikatakan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo. Bahkan BNPB itu meminta agar polemik terkait lockdown atau karantina wilayah dihentikan.
Sebenarnya "perlawanan" dari Papua dan Tegal sudah dapat diprediksi dan hanya tinggal menunggu waktu. Terlebih kepala daerah memang memiliki otoritas untuk melakukan karantina wilayah sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, meski terbatas.
Salah satu penyebabnya, terjadi sebaran virus yang semakin masif. Belajar dari kasus yang terjadi di sejumlah negara, para kepala daerah memilih untuk melakukan antisipasi dan pencegahan secara lebih keras.
Terlebih ada sebagian masyarakat yang tidak mau mematuhi anjuran social distancing atau kini menjadi physical distancing atau menjaga jarak aman. Masyarakat tetap berlalu-lalang, memenuhi angkutan publik, berkerumun hingga menggelar pesta.
Imbauan agar belajar, bekerja dan beribadah di rumah dianggap kurang memadai lagi.
Kedua, banyak warga Tegal, juga Papua, yang mencari nafkah ke luar daerah, terutama Jakarta. Menjelang puasa dan lebaran akan banyak warga yang mudik. Hal itu tentu membuat kuatir para kepala daerah mengingat sudah ada sejumlah warga yang positif mengidap Covid-19 sepulang dari Jakarta.
Larangan melakukan lockdown, bahkan diminta tetap menyediakan angkutan publik yang jelas tidak sejalan dengan imbauan untuk tetap di rumah, mungkin yang menjadikan Jakarta sebagai pusat sebaran (epicentrum) virus yang bermula di Wuhan, China tersebut.
Pertanyaan kini, benarkah kebijakan lockdown tidak pro masyarakat kecil dan penuh muatan politik? Bagi mereka yang kontra dan melihatnya hanya dari kacamata politik, lockdown dianggap dapat menimbulkan wabah yang lebih mengerikan yakni kelaparan dan huru-hara. Mereka beranggapan karantina wilayah hanya akan menyengsarakan masyarakat yang tidak memiliki tabungan dan mengandalkan penghasilan dari kerja harian.
Mungkin benar demikian. Sekali lagi mungkin. Tetapi apakah status kejadian luar biasa (KLB) dan tanggap darurat yang tidak jelas kapan berakhirnya, bukankah juga memiliki potensi terjadinya hal serupa?
Hal ini perlu disampaikan karena faktanya, sejumlah daerah telah memperpanjang masa KLB dan tanggap darurat. Dan tidak ada jaminan setelah masa 14 hari ke depan, bahkan hingga akhir April mendatang, pandemi korona akan berakhir.
Apa yang akan terjadi manakala pedagang kecil, pengusaha UMKM gulung tikar karena tidak ada kepastian sampai kapan physical distancing diberlakukan?
Benar, lockdown pun tidak menjamin durasi waktunya. Tetapi ada dua sisi positifnya. Pertama, kebutuhan pokok warga, terutama masyarakat kecil dijamin pemerintah. Kedua, sebaran virus akan lebih cepat terlokalisir karena tidak ada lagi warga yang lalu-lalang.
Ataukah pemerintah pusat tidak mau melakukan lockdown karena ada hal-hal lain di luar penanganan virus itu sendiri, semisal ketidaksiapan anggaran yang dibutuhkan? Semoga permintaan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar IMF membantu negara-negara yang terkena pandemi Covid-19 tidak terkait hal itu.
Seruan Amerika Serikat, Australia dan mungkin akan disusul negara-negara lain, agar warganya segara meninggalkan Indonesia, mestinya dijadikan warning, karena mungkin mereka menganggap Indonesia "tidak mampu" menangani pandemi Covid-19.
Jangan sampai pemerintah pusat benar-benar kehilangan wibawa manakala semakin banyak daerah yang membuat kebijakan sendiri, yang bertentangan dengan imbauan, bahkan instruksi Presiden. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H