Dalam banyak peristiwa, para elit sering berteriak jika Indonesia negara hukum sehingga setiap persoalan yang muncul diselesaikan melalui jalur hukum. Tetapi mengapa pada kasus 689 WNI eks ISIS, semua seolah mengamini Indonesia menjadi negara kekuasaan?
Awalnya keputusan rapat terbatas di Istana Bogor yang dipimpin Presiden Joko Widodo cukup melegakan. Pemerintah, seperti disampaikaan Menko Polhukan Mahfud Md, memutuskan untuk tidak memulangkan WNI eks ISIS yang kini berada di kamp pengungsi sejumlah negara, terutama Suriah dan Turki karena mereka pergi sendiri.
Menurut Mahfud ada tiga keputusan yang diambil. Pertama, menjamin rasa aman dan nyaman bagi 267 juta warga negara yang hidup di Indonesia. Kedua, tidak memulangkan (eks) kombatan yang tergabung dalam foreign terorist fighter di beberapa negara. Dan ketiga, melakukan pendataan terhadap WNI terduga teroris tersebut.
Artinya, pemerintah tidak sampai mengambil keputusan mencabut status kewarganegaraan 689 orang tersebut. Bahkan pemerintah tetap membuka kemungkinan untuk memulangkan anak-anak tanpa orang tua yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Tetapi pernyataan Presiden Jokowi dengan menyebut ISIS eks WNI kembali mematik pertanyaan apakah pemerintah telah mencabut status kewarganegaraan WNI eks ISIS? Dengan menyebut mereka sebagai eks (bekas) WNI, berarti saat ini statusnya bukan lagi WNI. Artinya berbeda dengan hasil keputusan rapat terbatas yang disampaikan Mahfud.
Jika benar demikian, maka sesungguhnya Indonesia tidak lagi menjadi negara hukum, melainkan kekuasaan. Sebab tidak ada satu pasal dalam semua perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang memberikan hak kepada siapa pun, termasuk Presiden, untuk mencabut kewarganegaraan  seseorang. Status WNI seseorang hanya hilang karena melakukan hal-hal seperti yang dimaksud pasal 23 UU Nomor 12/2006.
Untuk membuktikan apakah seorang WNI telah melakukan pelanggaran seperti dimaksud pasal 23, harus melalui peradilan. Tidak bisa diputuskan melalui rapat terbatas karena Indonesia negara hukum sebagaimana disampaikan mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun.
Jika kuatirkan prosesnya akan lama, maka Gayus menyarankan agar pengadilan membuat skala prioritas sehingga kasusnya bisa cepat diputus melalui pengadilan in absentia alias tanpa perlu menghadirkian pihak yang diadili.
Peradilan sangat penting untuk mengetahui siapa yang telah membakar paspor, siapa yang telah menjadi kombatan, siapa yang datang ke Suriah karena paksaan atau jebakan. Semua harus jelas dan transparan agar kita tidak menghukum mereka yang tidak bersalah. Â
Oleh karenanya kita benar-benar berharap, elit politik dan penguasa tidak terjebak dengan retorika populis apalagi tekanan sehingga kebijakan atau ucapan yang keluar tidak mencerminkan ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menyebut 689 orang yang pernah bergabung dengan ISIS sebagai eks WNI tanpa adanya proses peradilan, sungguh tidak elok. Mencederai  norma bahwa seluruh warga bangsa memiliki kedudukan hukum yang setara (equality before the law). Bahkan mungkin sebentuk pembelokkan semangat UU itu sendiri karena pemberlakuan atau penerapannya yang berbeda.
Ingat, sebelum ini sudah banyak mantan "rakyat" bahkan kombatan ISIS yang pulang ke tanah air. Bukankah mereka masih WNI? Jika alasannya karena mereka tidak membakar paspor, apakah 689 orang yang kini berada di kamp pengungsi itu seluruhnya telah membakar paspor?
Jika alasannya karena mereka yang pulang sebelumnya sudah tobat, siapa yang berani menjamin mereka yang sekarang berada di kamp pengungsian belum bertobat?
Kita mendesak pemerintah untuk tidak gegabah bukan karena permisif dengan teroris, melainkan sebagai bentuk kepedulian agar pemerintah tidak mengambil keputusan dengan cara-cara yang tidak sesuai UU karena dibebani motif lain.
Ungkapan bahwa hukum harus tetap ditegakkan meski esok langit kan runtuh, bukan pemanis, bukan pula omong kosong. Semangat itu yang harus tetap dijaga jika memang Indonesia negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H