Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Anies Bungkam Lawan dari Pangkalnya

6 Februari 2020   17:11 Diperbarui: 6 Februari 2020   17:35 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto sebelum dan sesudah revitalisasi Monas. Foto: KOMPAS.com

Bahkan ketika diam pun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan salah. Jadi untuk apalagi membuka ruang komunikasi jika satu pihak sudah memiliki kesimpulan lawan sudah salah, bahkan sebelum kasus yang dipersoalkan lahir.  

Perdebatan hanya efektif dilakukan manakala dua pihak masih menyisakan ruang rasionalitas sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pendapat setelah melihat fakta dan data yang dibeber lawan. Tanpa hal itu, sikap diam menjadi sebentuk perlawanan terbaik. Lawan dibiarkan bermain sendiri hingga akhirnya kebingungan.

Hujatan dan serangan ke Anies sudah terjadi bahkan sejak hari pertama dilantik. Anies dilaporkan ke polisi karena menyebut kata "pribumi" dalam pidato usai pelantikan. Setelah itu, tidak ada satu pun kebijakan Anies yang dianggap benar oleh lawan politiknya.

Tentu bukan suara nitizen yang dimaksud di sini. Bukan pula opini abal-abal dengan taburan hoaks. Anies tidak pernah mempersoalkan hal-hal demikian. Tidak ada penggunaan kekuasaan untuk melawan nitizen demikian, sebagaimana dilakukan tokoh-tokoh lain. Jangankan sekedar makian "binatang", ancaman hendak dibunuh pun tidak membuatnya menggunakan alat kekuasaan lain untuk membungkamnya.

Lawan politik di sini tentu mengacu pada dua kutub yakni DPRD DKI sebagai mitra kerja eksekutif dan pemerintah pusat sebagai pembina pemerintah daerah.

Suara-suara yang terlontar dari gedung DPRD senantiasa jauh dari semangat kemitraan. Ghirah untuk menjatuhkan, mendiskreditkan, menjadi panglima sehingga tidak ada hal-hal konstruktif yang dapat diambil sebagai bahan kajian dalam kebijakan selanjutnya.

Contohnya dalam pembahasan rancangan APBD beberapa waktu lalu. Sekeras-kerasnya anggota DPR mengkritik Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya yang pertama, politisi lawan tidak sampai merusak tatanan yang sudah menjadi kewajibannya. Pembahasan APBN tetap dalam koridor saling menghargai. Anggota-anggota DPR dari kubu oposisi tetap menjaga marwah dan etika politik dalam melakukan pembahasan dan pengawasan APBN.

Hal itu sama sekali tidak tercermin di DPRD DKI. Meski hanya segelintir politisi "kemarin sore" yang masih membutuhkan banyak panggung agar dianggap bekerja, cara yang dilakukan sungguh barbar karena jauh dari etika. Bagaimana mungkin sebuah usulan anggaran dijadikan objek untuk menyerang secara brutal- dinarasikan seolah sudah terjadi, padahal itu adalah tugas mereka untuk membahasnya.  

Jika akhirnya sikap demikian mendapat perlawanan justru dari mitra oposisi sendiri karena eksekutif  mendiamkannya, bahkan "mentertawakan", tanpa malu-malu mereka berlalu sambil bertepuk dada karena merasa sudah membukukan sebuah investasi politik.

Demikian juga pada kebijakan-kebijakan lain. Teror terhadap kebijakan eksekutif (baca: Anies) terus diproduksi tanpa mau melihat substansi, apalagi data-data yang ada.

Mari kita lihat dalam kasus revitalisasi Monas. Narasi pertama yang teruar adalah pelanggaran karena menebangi pohon, hingga kantor perusahaan pemenang tender yang disebut tidak layak mengerjakan proyek senilai milyaran rupiah.

Narasi pertama dengan mudah dipatahkan karena "hobi" menebangi pohon di Jakarta bahkan lebih parah di era gubernur sebelumnya. Anies tercatat sudah menebang sekitar 300 pohon, termasuk 205 pohon terkait revitalisasi kawasan Monas.    

Sementara sebelumnya, Gubernur Basuki Cahya Purnama atau Ahok juga menebangi pohon terkait sejumlah proyek. Demikian juga Jokowi saat menjabat Gubernur DKI selama kurang lebih 2 tahun, terutama untuk proyek MRT. Bagaimana dengan Djarot Saiful Hidayat? Tidak ada angka pasti. Tetapi jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan karena terkait proyek pelebaran trotoar demi suksesnya pelaksanaan Asian Games 2018.

Menebang pohon bukan pelanggaran pidana karena Gubernur DKI memiliki otoritas. Lagi pula penebangan pohon juga diikuti dengan penanaman pohon pengganti sesuai aturan Dinas Pertamanan DKI Jakarta Nomor 9 tahun 2002 di mana 1 pohon harus diganti dengan 10 pohon.

Bagaimana dengan narasi "tidak urgen", merusak Monas sehingga menyebabkan banjir? Bagi yang tinggal di luar Jakarta dan hanya mengikuti pemberitaan media yang sudah memfilter diri atas dasar kepentingan kelompoknya, narasi itu sangat heroik. Dengan santai menyimpulkan Monas banjir setelah pohon ditebangi.

Bahkan setelah ada fakta tidak pernah ada banjir 2020 di sekitar kawasan Monas, tetap saja keukeuh dengan pendapatnya karena hal itu memang sudah bagian dari harapan yang terendap dalam hatinya.  

Penebangan kawasan Monas menjadi, menurut istilah media, gundul, benar-benar memuaskan sebagian kalangan itu. Terlebih kemudian Sekretariat Negara selaku pihak yang memiliki otoritas kawasan Monas, ikut bersuara lantang karena proyek itu dikerjakan sebelum meminta izin.
Revitalisasi pun dihentikan karena Pemprov DKI tidak ingin isunya semakin liar. Keinginan agar ada izin ke Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka, diikuti, termasuk kemudian menggelar rapat di tingkat Komisi Pengarah di mana Gubernur DKI adalah sekretarisnya.

Apa hasilnya? Komisi Pengarah intinya hanya meminta agar revitalisasi disesuaikan dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1995. Dewan Pengarah tidak mempersoalkan revitalisasi yang dilakukan Pemprov DKI karena memang sudah sesuai dengan Keppres 25. Bahkan setelah revitalisasi, kawasan hijau Monas akan bertambah menjadi 64 persen, dari 53 persen yang diwajibkan Keprres 25.

Hal itu terjadi karena Anies akan mengembalikan fungsi kawasan selatan Monas yang saat ini menjadi lapangan IRTI, tempat parkir dan lahan jualan Lenggang Jakarta, sebagai kawasan hijau sebagaimana ketentuan Keppres 25. Ini urgensitasnya karena kualitas udara di Jakarta yang semakin buruk sehingga membutuhkan lebih banyak lagi kawasan hijau, selain kebijakan lain termasuk penekanan penggunaan kendaraan pribadi dengan memaksimalkan layanan angkutan publik.  

Setelah Anies menyerahkan gambaran lengkap tentang revitalisasi Monas, kemungkinan Komisi Pengarah akan segera memberikan izin karena menurut Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama, reviltalisasi Monas harus segera diselesaikan agar tidak mangkrak sehingga mengganggu fungsi pelayanan publik dan vegetasi.

Belajar dari kasus Monas, Pemprov melakukan kesalahan terkait izin kepada Komisi Pengarah. Tetapi narasi yang dibangun di luar, jauh dari substansi selain upaya pembusukkan sebagaimana pada isu-isu sebelumnya. Hal ini yang sangat disayangkan.

Kita tidak ingin Anies bersikap diam karena sebagian masyarakat Jakarta membutuhkan informasi yang lebih komprehensif. Bahwa ada pemenggalan ucapan oleh sebagian media yang sudah memiliki narasi besar yang dibentuk sejak dirinya memenangkan Pilgub DKI 2017, jangan sampai hal itu merugikan kepentingan yang lebih besar.

Namun jika diam adalah sebentuk perlawanan untuk menghadapi oligarki politik yang brutal, rasa-rasanya juga tidaklah terlalu buruk.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun