Tidak seperti biasanya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan politik secara tertulis (teks). Padahal sebelumnya selalu menggunakan video, baik dalam bentuk pidato atau pun wawancara .
Pernyataan politik Ketua Umum Partai Demokrat yang diposting di akun Facebook tersebut sudah mendapat ribuan like, ratusan kali dibagikan dan banyak mendapat komentar positif. Poin utamanya adalah terkait korupsi Jiwasraya, perusahaan asuransi plat merah yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga 13,7 triliun.
SBY membagi kasus Jiwasraya menjadi 7 arena, yang jika dilihat dari narasinya lebih tepat disebut sebagai pertanyaan atau mempertanyakan. Salah satu poin yang menarik ada di arena nomor 4 yakni, "Apakah memang ada uang yang mengalir dan digunakan untuk dana politik (pemilu).
Atas "pertanyaan" itu, SBY berpendapat perlu dilakukan investigasi  untuk menjawab pertanyaan dan praduga masyarakat bahwa dalam kasus Jiwasraya dicurigai ada yang mengalir ke ke tim sukses Pemilu 2019 dan kandidat presiden.
Secara pribadi SBY tidak yakin kalau Jokowi sempat berpikir agar tim suksesnya mendapat keuntungan dari penyimpangan yang terjadi di Jiwasraya.
Pada bagian lain SBY menulis sepakat sepakat agar kasus Jiwasraya tidak dipolitisasi. SBU melarang kader Demokrat di DPR ikut-ikutan berpikir membentuk panitia khusus (pansus) Jiwasraya dengan tujuan untuk menjatuhkan sejumlah pejabat negara seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno hingga Presiden Jokowi.
SBY menyinggung soal Pansus Bank Century dan teriakan yang meminta dirinya mundur.Hal itu bukan hanya mengganggu stabilitas politik dan sosial namun, menurut  SBY, menimbulkan kegaduhan yang melampaui batas. Â
Oleh karenanya SBY meminta agar peristiwa semacam itu tidak terjadi lagi. Cukup dirinya yang mengalami. Tidak perlu ada gerakan atau seruan "turunkan Jokowi". Â
Secara tersurat, pernyataan politik SBY sangat santun dan wajar-wajar saja. Negeri ini memberikan jaminan kebebasan setiap individu untuk menyuarakan pendapat, saran, bahkan kritik. Hak demikian itu tentu saja juga dimiliki SBY yang dikenal sangat cermat dan selalu tertata dalam bertutur kata.
Tetapi di balik keindahan tata bahasanya, sulit memungkiri ada maksud tersembunyi- tersirat, di  dalamnya. Bahkan pada beberapa frasa, mungkin serupa antonim, berkebalikan dari maksud tersuratnya.
Larangan bagi kader Dermokrat di DPR untuk mendorong pembentukan pansus Jiwasraya tidak tepat. Kader-kader Demokrat sebelumnya satu suara mendorong pembentukan pansus sebagaimana digelorakan Didi Irawadi Syamsuddin.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini menyeru agar fraksi-fraksi lain di DPR tidak perlu takut dengan pansus jika memang memiliki tujuanyang sama yakni mencari kebenaran. Â Demokrat akhirnya menolak mengirim anggota ketika wacana pansus akhirnya pupus berganti panitia kerja (panja).
Selengkapnya : Panja Jiwasraya, Obat Gatel untuk Kanker
Pernyataan SBY sangat mungkin untuk "membersihkan" kesan Demokrat ngotot mendorong pansus. Namun bisa juga sebagai sindirian bahwa tidak ada pemimpin seperti dirinya yang berani menghadapi pansus dan dapat melewatinya dengan baik.
Penyebutan nama-nama yang menjadi target untuk dlengserkan jika pansus dibentuk, dapat dimaknai sebagai umpan balik, bukan dalam konteks melindungi. SBY seolah tengah berkata, "inilah orang-orang yang wajib bertanggungjawab". Â Sebab SBY tentu memiliki catatan lebih detail terkait perkara Jiwasraya.
Kesan adanya maksud tersembunyi dalam pernyataan SBY semakin benderang ketika meminta agar tidak ada gerakan atau seruan "turunkan Jokowi". Â SBY sepertinya tengah melempar bola panas, atau mungkin pematik, yang ditujukan kepada pihak lain agar "melakukan" gerakan dan seruan itu sebagaimana dulu dilakukan kepada dirinya.
Kalimat pengulangan dirinya pernah didesak mundur hingga di-pansus-kan, seraya mengatakan  Jokowi tidak perlu mengalami hal serupa, adalah bentuk dukungan manakala diseru sebelum ada gerakan kader-kader Demokrat di DPR.
Karena hal itu dilakukan setelah Demokrat (bersama PKS) gagal mendorong pansus, maka maknanya sangat mungkin sebagai "ejekan" kepada partai-partai penguasa (baca: Jokowi) yang ketakutan pansus akan menyasar nama-nama di atas sehingga hanya berani membentuk panja, yang bahkan tidak memiliki akses ke pusat masalah.
Tanpa menafikan hak konstitusonalnya, kita sebenarnya berharap orang-orang yang sudah mantan tidak terlalu mengurusi pemerintahan yang diwariskan. Terlebih jika tujuannya hanya untuk membersihkan "daki" masa lalu yang telah menjadi sejarah. Â
Kelihatan sifat "tidak baiknya", terlebih ketika hal-hal yang dipersoalkan juga terjadi di masa pemerintahannya. Mengapa baru sekarang terlihat hebat, sementara saat menjabat tidak mampu mencegah terjadinya hal yang sama?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H